Monday, June 03, 2013

REFORMASI BIROKRASI ; PERGULATAN APARATUR, KULTUR DAN STRUKTUR



OLEH :
MUSTARI MULA TAMMAGA
            "Bukan zamannya lagi slogan yang perlu aksi dan bukti". Begitu kira kira  bunyi komentar salah satu akun di facebook Warta Kominifo Polman ketika mem-publish status terbarunya berkaitan dengan pencanangan salam reformasi, Jumat Semangat serta gerakan taati jam kerja yang digelar oleh Pemkab Polewali Mandar beberapa waktu lalu. Ironi memang,  disaat pemerintah bertekad untuk melakukan perubahan, sepertinya publik  tidak terlalu  memberi respon, bahkan pesimis dan cenderung apatis.
Mengapa ?  karena pemerintah  telah  kehilangan kepecayaan (trush)  di mata publik dengan kondisi kinerja birokrasi kita saat ini. Birokrasi dalam pemahaman tulisan ini adalah institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan publik terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Jika pemerintah kembali menggaungkan gerakan reformasi khususnya reformasi birokrasi, sebenarnya bukanlah gerakan reformasi baru tetapi masih menjadi rangkaian dari gerakan reformasi total 1998 lalu. Salah satu agenda reformasi yang dituntut saat itu  adalah menciptakan good governance dalam rangka membentuk Indonesia baru. Ada tiga aktor utama yang berperan  dalam menciptakan Good Governance yaitu : Pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk didalamnya; dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara); dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggungjawab dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis berkelanjutan. Ketiga aktor tersebut dalam sistem administrasi negara ditempatkan sebagai mitra yang setara.
Beberapa catatan penting yang telah dilakukan berkaitan dengan gerakan reformasi sejak terjadinya krisis multidimensi lima belas tahun lalu, antara lain revitalisasi lembaga lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum presiden, gubernur, bupati dan walikota secara langsung , keterbukaan informasi, desentralisasi dan otonomi daerah serta perubahan tata kelolala pemerintahan yang dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).
Dalam bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu  membawa kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik. Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia.
Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Kementerian/Lembaga dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan layanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2010 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Reformasi birokrasi merupakan usaha mendesak, mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu  perlu usaha-usaha serius agar pembaruan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Ada tiga faktor yang perlu mendapat perhatian serius dalam melakukan reformasi birokrasi  yaitu faktor SDM (aparatur) faktor kelembagaan (struktur) dan faktor etika dan budaya kerja (kultur).
Aparatur
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai Sumber Daya Manusia (aparatur)  yang handal dan profesional. Peningkatan kapasitas aparatur  menempati posisi pertama dalam  konsep reformasi birokrasi  mengingat bahwa unsur aparatur menjadi penentu akhir dari keberhasilan reformasi birokrasi. Menyadari pentingnya peranan SDM  aparatur dalam reformasi birokrasi, maka sumber daya ini perlu dikelola secara maksimal. Karena itu falsafah yang mendasari pengelolaan sumber daya ini dalam kurun waktu terakhir adalah memberikan penghargaan yang layak serta memberikan peran yang memadai kepada sumber daya ini dalam upaya lebih mengefektifkan penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa.
Peningkatan kapasitasaparatur merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dengan konsep sumber daya manusia pada umumnya. Hanya saja pemaknaan sumber daya aparatur lebih mengkhusus pada aparatur negara dalam hal ini para pegawai negeri sipil. Karena itu konsep sumber daya aparatur lebih dikenal dengan istilah sumber daya manusia secara mikro. Sedangkan kajian sumber daya manusia secara universal lebih lazim dikenal dengan istilah sumber daya manusia secara makro. Reformasi birokrasi di bidang aparatur secara singkat meliputi tekad untuk melakukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini menjadi prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah, maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan dikalangan birokrat, perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan,pemberian penghargaan  (reward)  bagi pegawai yang berprestasi,   tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
Kultur
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit-belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya. Demikian pula halnya dalam pelayanan publik, kultur berbagi (sharing) informasi  dan mempermudah urusan belum sepenuhnya diterapkan oleh aparatur.  Bahkan ada pameo yang mengatakan “ Apabila bisa dipersulit kenapa harus dipermudah ”. Dalam kondisi seperti ini banyak oknum yang menggunakan kesempatan untuk meraih keuntungan Misalnya mengenakan biaya tinggi untuk satu produk perijinan yang melampaui Standar Pelayanan Minimun (SPM) yang telah ditentukan dengan alasan untuk biaya administrasi. Untuk melakukan reformasi dibidang ini maka langkah kongkrit yang perlu dilakukan adalah ” membongkar kebiasaan lama dan ganti kebiasaan baru ". yaitu merubah pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set)
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk dalam kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
Struktur
Struktur kelembagaan birokrasi kita saat ini cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan. Penciptaan struktur birokrasi yang gemuk  diakibatkan oleh keinginan pemerintah mempertahankan status quo. Di beberapa daerah otonom yang terkontaminasi dengan politisasi birokrasi, sengaja mendesaian struktur organisasi pemerintahannya yang gemuk  untuk menciptakan jabatan baru bagi kolega yang tidak terakomodir pada jabatan struktural yang telah ada, padahal secara profesionalisme mereka tidak memiliki kompetensi  menduduki struktut jabatan.tersebut, namun karena kepentingan politik penguasa maka struktur orgnisasi tersebut dibentuk.
Kondisi ini menimbulkan  struktur birokrasi yang amat hierarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan  untuk memenuhi tuntutan struktur dari pada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar amat diperlukan dalam penyelenggaran  program pembangunan agar tidak menjadi terhambat., dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih parah prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi yang dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu sudah saatnya bentuk struktur organisasi dibentuk secara terbuka, fleksibel, ramping, pipih (flat), rasional, efesien dan desentralisasi serta menyesuaikan diri  perubahan sosial yang terjadi di masyarakat serta kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

SULBAR BERKIBAR SULSEL MENGGUGAT

Oleh :
MUSTARI MULA TAMMAGA
Tanpa bermaksud mendestruktif hubungan Sulsel dan Sulbar yang terbina cukup harmoni, ternyata isu pembentukan Sulawesi Barat memang sering menjadi momok tersendiri bagi (segelintir) elit di Sulsel. Belum cukup setahun provinsi ini didirikan, belum lepas masa eufhoria rakyat Sulbar menikmati kemerdekaannya, bahkan belum kering tetesan peluh para pejuang, tiba-tiba undang undang 26 Tahun 2004 digugat dan dinistakan.
Berawal dari statement Gubernur Sulawesi Selatan HM.Amin Syam yang merasa di lecehkan oleh DPR RI atas terbitnya Undang Undang 26/2004 tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat khususnya pada klausul yang secara eksplisit mencantumkan nilai bantuan dan sanksi jika tidak menaati UU tersebut, lalu kegelisahan ini “dicurahkan” kepada dua senator anggota dewan perwakilan asal Sulsel HM Aksa Mahmud dan Benyamin Bura (Kompas,23/11-04).
Seperti diketahui bahwa dalam UU 26/2004 pasal 15 khususnya ayat (7) di kemukakan bahwa “ Provinsi Sulawesi Selatan wajib memberikan bantuan dana kepada Privinsi Sulawesi Barat selama 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung sejak diundangkannya Undang Undang ini paling sedikitsejumlah Rp. 8.000.000,- (delapan miliar rupiah) setiap tahun anggaran.
Dalam pasal yang sama ayat (8) ditegaskan bahwa “pemerintah provinsi Sulawesi Selatan paling kurang 2 (dua) tahun berturut turut terhitung sejak diundangkannya Undang Undang ini wajib mengalokasikan dana dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah untuk kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat di wilayah provinsi Sulawesi Barat yang jumlahnya paling sedikit sama dengan alokasi dana sebelum dilakukan pemekaran.
Selanjutnya dalam penegasan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2004 pasal 15 ayat (7) tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat disebutkan bahwa “bantuan dana di maksud pada pasal 15 ayat (7) di salurkan secara bertahap dari kas daerah Provinsi Sulawesi Selatan ke kas daerah Provinsi Sulawesi Barat setiap triwulan sebagai berikut :  a) Akhir bulan Maret sejumlah 25 %  b) Akhir bulan Juni 25 %  c) Akhir bilan September sejumlah 25 % dan d) Akhir bulan November sejumlah 25 %.
Pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan semakin merasa di lecehkan ketika DPR RI mencantumkan ayat (9) pasal 15 dalam UU tersebut yang isinya menyabutkan sevara tegas sanksi-sanksi kepada Pemprov Sulsel jika tidak mentaati ayat (7) dan (8) diatas, yakni “Pemerintah memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran pemberian dana perimbangan ke kas daerah Provinsi Sulawesi Selatan apabila pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8).
Statement Gubernur Amin Syam menuai beragam tanggapan, tidak terkecuali HM Aksa Mahmud Anggota DPD asal Sulsel plus Sulbar sekarang menjadi Wakil ketua MPR RI. Celakanya, pernyataan Aksa Mahmud justru berada pada posisi yang memarginalkan dan memcederai aspirasi Orang-Orang Sulbar yang nota bene adalah para konstituen ia mendukungnya menjadi senator pada pemilu Legislative yang lalu.
Tanpa merasa berdosa ia mengatakan “pihaknya akan meminta agar DPR RI mengubah UU 26/2004 khusus pada klausul yang secara Eksplisit mencantumkan tentang bantuan Rp 8 M dan saksi-saksi terhadap Pemprov Sulsel jika tidak mengindahkan UU tersebut”. Ini dalah pelecehan, tandasnya” tidak ada UU pembentukan Provinsi di Indonesia ia menyebutkan secara Eksplisit nilai bantuan Provinsi induk kepada Provinsi baru, apalagi dengan menyebut saksi bahwa dana Alokasi Umum (DAU) untuk Sulsel akan dipotong kalau tidak merealisasikanh bantuan sebesar itu. Saya akan mengusulkan kemendagri agar bias mengubah UU tersebut dan mendagri kemudian menyurat ke DPR untuk di adakan perubahan.
Pemprov Sulsel seharusnya tidak merasa dilecehkan karena sejak penyusunan rancangan UU 26/2004 sudah dilibatkan. Mekannismenya jelas dan sangat Procedural. Keinginan politik (political will) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan menerbitkan rekopmendasi dalam bentuk surat keputusan Nomor 20 Tahun 2002 Tanggal 18 September 2002 tentang persetujuan usul pembentukan provinsi Sulawesi Barat adalah bentuk apresiasi yang tinggi terhadap keinginan rakyat Sulbar.
Yang jssustru melakukan pelecehan adalah Pemprov Sulsel terhadap aspirasi rakyat Sulbar. Bertahun-tahun rakyat Sulbar dikebiri dan dijebak dalam tirani mayoritas terhadap minoritas. Alokasi dana besar Rp 8 M selama dua tahun sebenarnya terlalu minim untuk sebuah bantuan dari seorang bapak terhadap anak jika di bandingkan ketidakadilan pemerintahan pembangunan yang dilakukan sulsel selama ini bahkan Amin Syam sendiri secara legowodan simpatik telah menyatakan kesediaannya untuk membantu sang anak yang baru lahir ketika memberikan sambutan pada peresmian Provinsi Sulawesi Barat 16 November 2004 lalu di mamuju. Tetapi kenapa tiba-tiba merasa dilecehkan. Atau mungkin merasa diatas ingin karena di back up oleh senator yang sama-sama punya kepentingan terhadap Sulbar.
Sebagai rakyat yang bijak maka gugatan pemprov sulsel terhadap UU 26/2004 tidak perlu ditanggapi secara emosional apa lagi akan bertindak prontal. Kiinginan pemprov Sulsel untuk mengaman demen UU 26/2004 Bukanlah suatu hal yang mudah karena tentu akan berhadapan dengan rakyat dan harus melalui mekanisme yang jelas yaitu di usulkan Mendagri lalu mendagri menyusulkan ke DPD RI. Tetapi perlu di ingat bahwa tidak ada perkara yang sulit di negeri ini apa bila kekuasaan dan uang yang mengendalikan perkara tersebut. Karena itu perlu di lakukan oleh rakyat Sulbar khususnya para konstituen pendukun Aksa Mahmud menjadi senator di MPR RI adalah mendesak Aksa Mahmud untuk tidak bertindak diskriminativ dalam menyikapi fenomena ini
Betapa sedih dan sakitnya hati rakyat Sulbar jika Aksa Mahmud secara terang-terangan memperlihatkan keberpihakannya terhadap kepentingan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan, apalagi jika aksa Mahmud berinisiatif untuk membantu Pemprov Sulsel dalam memfasilitisi proses amandemen UU 26/2004. Sementara terpilihnya menjadi senator di MPR RI bukan hanya mewakili rakyat Sulsel tetapi juga mewekili rakyat Sulbar. Karena sejatinya aksa terpilih menjadi anggota DPD tidak lepas dari distribusi kurang lebih 100 ribu Suara para pendukungnya dari rakyat Mandar yang sekarang lebih memiliki Provinsi sendiri. Ini adalah suatu keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.
Pucuk di cinta Ulan pun tiba, Gugatan Amin Syam dan Aksa Mahmud untuk meninjau kembali (judicial review) UU 26/2004 justru disahuti Oentarto Sindung Mawardi pejabat Gubernur Sulbar. Menurut mantan Dirjen Otoda Depdagri” ketentuan dalam pasal 15 ayat (7), (8),(9) UU 26/2004 tidaklah bersifat Absolut tetapi hanya merupakan peringatan formal (Warning) agar Provinsi induk member perhatian sebagai konsekuensi persetujuan dari induk. Saya ini berpengalaman dalam penyusunan pemerintahan daerah baru dan daerah Otonom. Memang ada pernyataan dari induk sanggup membiayai daerah yang baru terbentuk tetapi dalam pelaksanaannya kadang kala berbeda dengan realitas”                      
Pernyataan senada di kemukakan Ibnu Munsir mantang anggota Komisi VI DPR RI dan Ketua Pansus Pembentuk Sulbar “ Banyak Kelurahan dari daerah-daerah yang di mekarkan terlebih dahulu baik provinsi maupun kabupaten/kota selalu mengelu karenadaerah induk setengah hati member bantuan. Karena itu UU 26/2004 Tentang pembentukan Sulbar memang di sengaja didesain agak lain dan berbeda berbeda dengan UU pemekaran sebelumnya karena berdasarkan pengalaman baik di Depdagri maupun di DPR RI selalu menerima keluhan dari daerah pemekaran akibatulah daerah induk yang tidak merealisasikan bantuan seperti yang di amanatkan dalam UU Pemekaran daerah yang bersangkutan. Atas pangalaman itulah maka Depdagri mencoba mengakomodir klausul yang secara eksplisitnilai bantuan Sulsel Untuk Sulbar“ (Pedoman Rakyat,25/11-2004)
Agaknya perdebatan antara sulsel dan Sulbar agak meruning jika elit elit sulsel tidak berbesar hati melepas anaknya untuk mandiri. Apalah arti uang sebesar Rp 8 miliar untuk daerah yang baru merangkak tertatih tatih dalam membenahi infrastuktur dan supratrukturnya. Sebenarnya jumlah nominal tersebut sudah dikurangi dari rencana semula yang diusulkan dalam RUU 26/2004 yaitu Rp 12 miliar yang dibayar selama 3 (tiga) tahun berturut. Tetapi karena pertimbangan yang sangat logis  dan tidak memberatkan provinsi induk maka jumlah tersebut dikurangi  menjadi Rp 8 miliar dan dibayar selama 2 (dua) tahun.
Sejak awal saya memang skeptis terhadap perilaku elit sulsel  mengenai penyikapannya kepada Sulbar. Nyaris tak satu pun yang berani secara tegas menyatakan dukungannya selama masih ingin menjaga keutuhan ‘’ piring”  agar tidak retak, kecuali bagi mereka yang “nekat” melawan  tirani kekuasaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu elit politik partai Golkar Sulsel ketika harus didepak dari Nomor “top” ke “bottom” dalam daftar calon anggota legislative pada pemilu kemarin karena intens mengurusi Sulbar. “ini  adalah konsekuensi sebuah perjuangan” ungkapnya. Ironi memang tapi itulah kekuasaan. Kekuasaan akan menjadi kuat manakala didukung kemampuan untuk melakukan intervensi dan mengsugesti keinginan orang lain. Akan tetapi jika elit-elit Sulsel tetap nekat melakukan judicial review terhadap UU 22/2004 maka ini adalah tindakan pembodohan dan pembohongan terhadap rakyat Sulbar yang perlu disikapi secara kritis . Hidup Sulbar. (Tulisan ini dimuat pada Harian Pedoman Rakyat edisi, 28 Nopember 2004)

KNPI ; YANG DICACI YANG DICARI


OLEH :
MUSTARI MULA TAMMAGA
A. Sejarah
Sejarah berdirinya Komite Nasional Pemuda Indonesia  (KNPI)  tidak bisa dilepaskan dari  kegagalan Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) melanjutkan perannya sebagai organisasi pemersatu mahasiswa dalam masa Orde Baru. KAMI adalah dedengkot organisasi mahasiswa angkatan 66 yang berhasil menumbangkan rezim Orde Lama. Namun dalam perjalanannya KAMI mengalami keretakan. Awal keretakan di tubuh organisasi KAMI mulai tumbuh, ketika masing-masing organisasi yang tergabung dalam KAMI seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMKRI (Persatuan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia) dan PMII (Persatuan Mahasiswa Islam Indonesia), Organisasi Mahasiswa Lokal (Somal), Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos), Ikatan Mahasiswa Bandung (Imaba), dan Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada), mulai kembali ke akar primordialnya baik secara ideologi maupun politik.
Walaupun keretakan itu tidak sampai pada gerakan fisik, tetapi pertentangan ideologis sangat terasa dalam tataran gerakan mahasiswa ketika itu. Hal ini berdampak pada gerakan aksi mahasiswa yang cenderung terkotak kotak dan jauh dari isu persatuan sebagaimana yang terbangun ketika KAMI masih menjadi wadah mahasiswa melawan kekuatan rezim Orde lama.  Berkurangnya peran KAMI sebagai wadah persatuan dan kesatuan generasi muda mahasiswa menimbulkan situasi tidak menentu dalam melanjutkan peranan kaum muda pada masa berikutnya. Kaum muda, baik secara individual maupun secara organisasi sulit untuk melakukan gerakan mencapai sasaran bersama ditengah situasi konflik nasional.
Kehidupan dunia kepemudaan pada masa setelah kemunduran KAMI memiliki beberapa ciri menarik yang dapat dilihat dari perkembangannya. Salah satu ciri tersebut adalah bahwa dunia kepemudaan lebih didominasi oleh para mahasiswa. Penyebabnya adalah karena pemimpin-pemimpin organisasi pemuda lebih banyak dipegang oleh para aktivis mahasiswa juga. Di samping itu, faktor lainnya adalah sikap independensi yang ditampilkan oleh organisasi mahasiswa ikut mendorong pengaruhnya di masyarakat ketimbang organisasi pemuda yang lebih banyak menjadi underbow partai politik.
Sewaktu organisasi mahasiswa dan pemuda melakukan kiprahnya sendiri-sendiri berdasarkan akar idiologinya,  sering timbul kegamangan yang berwujud pada  pertanyaan tentang perlunya wadah pemersatu mahasiswa dan pemuda dalam membangun sebuah gerakan. Dalam keadaan ini, kaum muda menyadari bahwa diperlukan suatu orientasi baru dalam melihat persoalan bangsa dan negara. Orientasi baru tersebut akan berorientasi pada pemikiran yang jauh melebihi kelompoknya sendiri, sehingga dapat menjangkau seluruh bangsa dimasa kini dan masa yang akan datang. Masalah ini pula yang menjadi perhatian kekuatan sosial politik yang tengah tumbuh saat itu sebagai suatu gejala dalam kehidupan politik di Indonesia yaitu Golongan Karya (Golkar).
Adalah Median Sirait yang menjabat sebagai Sekretaris Bidang Pemuda dan Pelajar Mahasiswa Cendekiawan dan Wanita (Papelmacenta) Golongan Karya, menyatakan bahwa pembaharuan sosial politik dengan menampilkan ikatan-ikatan baru dengan meninggalkan ikatan lama dan ideologi yang sempit. Papelmacenta Golkar pada tahun 1970-an memperkenalkan ikatan-ikatan baru di kalangan mahasiswa berupa ikatan kesamaan disiplin ilmu yang sedang dijalani. Ikatan ini kemudian dikenal dengan ikatan mahasiswa profesi. Sejak itu dikenal dalam kehidupan mahasiswa organisasi-organisasi profesi seperti IMKI (Ikatan Mahasiswa Kedokteran Indonesia), Mafasri (Mahasiswa Farmasi Seluruh Indonesia), IMEI (Ikatan Mahasiswa Ekonomi Indonesia), IMPsi ((Ikatan Mahasiswa Psikologi Indonesia), dan lain-lainnya yang keseluruhannya mencapai 14 organisasi mahasiswa profesi.
Dari dialog yang dikembangkan oleh para tokoh KAMI yang diperluas dengan tokoh-tokoh dewan mahasiswa, timbul keinginan untuk mencoba mencari jalan dari kebuntuan untuk melahirkan wadah persatuan dan kesatuan mahasiswa. Salah satu upaya perwujudan dari usaha tersebut adalah lahirnya gagasan untuk menyelenggarakan suatu mausyawarah nasional mahasiswa Indonesia. Hasrat lama yang tumbuh di kalangan mahasiswa sejak 1960-an dicoba kembali untuk diwujudkan secara nyata. Munas mahasiswa yang berlangsung di Bogor 14-21 Desember 1970 mengarah pada pembentukan wadah persatuan nasional atau populer dengan istilah Nation Union of Students (NUS). Namun, kesepakatan pembentukan NUS gagal tercapai. Kegagalan ini disebabkan oleh adanya presepsi yang sama mengenai bentuk dan format yang jelas tentang organisasi yang akan dibentuk dan juga disebabkan oleh adanya rasa saling curiga antar organisasi ekstra universitas.
Golkar yang menjadi kekuatan politik utama Orde Baru segera melakukan pendekatan yang dilakukan oleh Median Sirait (Sekjend Papelmacenta), Abdul Gafur (kemudian menjadi Menteri pemuda dan Olahraga) serta David Napitupulu terhadap organisasi kemahasiswaan untuk mensosialisasikan gagasan pembentukan wadah kepemudaan tingkat nasional. Perundingan dilakukan sebagai penjajagan yang lebih konkret dimulai dengan pertemuan-pertemuan informal secara bilateral antara Sekretaris Papelmacenta dengan Ketua GMNI Suryadi, Ketua HMI Akbar Tandjung, dan pimpinan organisasi mahasiswa lainnya seperti PMII, PMKRI, GMKI yang saat itu tergabung dalam kelompok Cipayung. Pendekatan terhadap organisasi kepemudaan dilakukan sama seperti yang telah dilakukan terhadap organisasi kemahasiswaan. Pertemuan ini antara lain dilakukan dengan GPM (Gerakan Pemuda Marhaen), GP Anshor, dan lain-pain. Pertemuan bulan Mei, Juni dan Juli dilakukan secara kontinyu, dan praktis merupakan peyeragaman visi tentang urgensi wadah nasional yang akan dibentuk.
Akhir dari pergulatan organisasi mahasiswa dan pemuda dalam mencari bentuk organisasi yang dapat menjadi wadah pemersatu pasca retaknya organisasi KAMI, maka  Pada 23 Juli 1973, KNPI dideklarasikan dengan Davd Napitupulu sebagai ketua umum pertama. Dalam sambutannya ia mengatakan bahwa KNPI berbeda dengan bentuk organisasi pemuda yang dikenal sebelumnya, seperti Front Pemuda yang bersifat federasi yang anggotanya terdiri dari ormas-ormas pemuda, Komite ini tidak mengenal keanggotaan ormas, oleh karena itu Komite ini bukanlah suatu federasi. Dengan memberanikan diri menampilkan tokoh-tokoh eksponen pemuda yang bersumber dari semua ormas-ormas pemuda yang ada di tingkat nasional sebagai orang yang dipercaya sebagai pemimpin KNPI ini, maka tidak berlebihan kalau KNPI akan mempunyai resonansi di masyarakat, khususnya di kalangan pemuda.
Melihat sejarah berdirinya,  KNPI merupakan bagian dari strategi Orde Baru dalam rangka membangun korporatisme negara. Usaha ini dilakukan dalam rangka penegaraan berbagai kegiatan organisasi kemasyarakatan dan privatisasi beberapa urusan kenegaraan. Dengan kata lain, korporatisme negara adalah suatu sistem perwakilan kepentingan yang melibatkan pemerintah secara aktif dalam pengorganisasian kelompok kepentingan sehingga kelompok-kelompok kepentingan itu terlibat dalam perumusan kebijakan umum. Segera saja, setelah KNPI dibentuk, organisasi ini menjadi pengawal kebijakan pemerintah Orde Baru di bidang kepemudaan dan kemahasiswaan.
B.Eksistensi 
Eksistensi KNPI berlangsung cukup lama sampai lembaga ini kembali digugat setelah tumbangnya rezim Orde Baru pada Mei 1998 dengan munculnya banyak wacana mengenai pembubarannya. Dalam banyak hal, KNPI bukanlah representasi organisasi kepemudaan yang kritis yang hadir untuk memberikan tanggapan atas disparitas ekonomi, budaya, sosial dan politik pada saat itu, melainkan malah menjadi garda depan yang ikut serta melanggengkan rezim.
Tuntutan pembubaran KNPI bisa dilacak dan diuraikan dalam penjelasan berikut; pertama, kelahiran KNPI merupakan by design yang diinisiasi kekuasaan dan bukan genuin yang digagas dan dipelopori oleh para pemuda. Dalam konteks seperti ini, otentisitas/kemurnian KNPI yang akan memperjuangkan peran pemuda menjadi nihil. Karena sifatnya yang by design, yang terjadi adalah KNPI menjadi pelayan dan kepanjangan tangan si pembuat desain, dalam hal ini rezim Orde Baru. Kedua, dalam perjalanannya KNPI tidak lebih dari sekedar alat dan distribusi kekuasaan. Tidak dimungkiri bahwa KNPI telah menjadi elan vital dan resources politik yang strategis bagi pemerintahan Soeharto dengan manjadikan Golkar dalam proses pengkaderan sekaligus bamper politiknya. Realitas ini dapat diamati dari para tokoh KNPI yang kemudian menjadi anggota legislatif dan menteri pada pemerintahan Soeharto.Ketiga, KNPI menjadi medan magnet bagi perkelahian untuk memperebutkan struktur organisasinya sebagai jalan untuk meretas karir di bidang politik bagi elemen-elemen Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) yang terlibat didalamnya. Karena itu KNPI lebih memperlihatkan watak sebagai organisasi kepemudaan yang pragmatis, miskin gagasan, dan kering nilai. Kondisi ini dimungkinkan karena memang struktur kekuasaan an-sich mengakui KNPI sebagai satu-satunya organisasi kepemudaan yang sah dan diakui.
Reformasi 1998 telah mengkoreksi hampir seluruh peran KNPI selama ini. Idrus Marham yang terpilih sebagai Ketua Umum pada era Reformasi mewacanakan rejuvenasi KNPI atau penyegaran kembali peran KNPI di tengah realitas politik nasional. Rejuvenasi dilakukan tak lain karena situasi dan kondisi atau realitas obyektif internal dan eksternal yang dihadapi oleh KNPI telah mengalami perubahan signifikan dan mendasar dibanding yang dialami pada Orde Baru. Rejuvenasi ini akhirnya memaksa KNPI untuk independen dan kembali memposisikan pemuda sebagai mitra kritis pemerintah. Dengan visi baru ini, di era reformasi eksistensi KNPI tetap dipertahankan.
C.KNPI di era Refomasi
Era reformasi yang memberikan kebebasan politik masyarakat ternyata menggiurkan kaum muda untuk terlibat langsung pada kepentingan politik partai. Ketua Umum KNPI Hasanuddin Yusuf yang mendirikan PPI (Partai Pemuda Indonesia) dituntut mundur oleh sebagian besar anggota KNPI yang terdiri dari ormas pemuda dan mahasiswa, sebab hal ini bisa membawa KNPI dan pemuda yang tergabung di dalamnya tidak independen dan rentan dengan kepentingan partai politik. Apalagi posisi ketua umum yang langsung menjadi ketua umum partai politik dinilai makin mempersulit pemuda di tengah perannya sebagai salah satu entitas yang netral di masyarakat.
Tuntutan terhadap ketua umum KNPI Hasanuddin Yusuf agar mundur dari jabatannya menimbulkan perpecahan di tubuh KNPI. Kongres KNPI ke-12 akhirnya berlangsung di dua kubu yang berbeda, pertama kubu yang tetap menolak pemecatan ketua umum mengadakan kongres di Jakarta pada 25-28 Oktober 2008 dan berhasil memilih Ahmad Doli Kurnia sebagai Ketua Umum,  sementara kongres lainnya berlangsung di Bali pada 28 Oktober - 2 November 2008 yang berhasil memili Azis Syamsuddin sebagai Ketua Umum. Dualisme kepemimpinan KNPI ini makin mempersulit langkah dan gerak KNPI  dalam mewujudkan perannya di tengah masyarakat. Kepercayaan masyarakat (pemuda) terhadap eksistensi KNPI sebagai wadah pemersatu yang dulunya mulai merekat disanubari para pemuda kini justru semakin redup akibat dualisme kepemimpian. Beruntunglah pada Kongres Bersama KNPI ke XIII yang dilaksanakan di Hotel Sahid Jakarta pada 25-28 Oktober 2011 berhasil memilih Taufan EN Rotorasiko.  Walaupun Kongres bersama ini hasilnya tidak diterima sebagaian kecil Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) dan melakukan Kongres KNPI tandingan  dengan menetapkan Akbar Zulfikar. Namun secara de facto de jure dan de facto kubu Taufan EN Retoresiko yang diakui oleh sebagian besar OKP yang berhimpun di KNPI yang juga diamini oleh Kementerian Pemuda dan Olah Raga. (Diramu dar berbagai sumber)