OLEH :
MUSTARI MULA TAMMAGA
"Bukan zamannya lagi slogan
yang perlu aksi dan bukti". Begitu kira kira bunyi komentar salah satu akun di facebook
Warta Kominifo Polman ketika mem-publish status
terbarunya berkaitan dengan pencanangan salam reformasi, Jumat Semangat serta gerakan
taati jam kerja yang digelar oleh Pemkab Polewali Mandar beberapa waktu lalu. Ironi
memang, disaat pemerintah bertekad untuk
melakukan perubahan, sepertinya publik tidak terlalu memberi respon, bahkan pesimis dan cenderung
apatis.
Mengapa ? karena pemerintah telah
kehilangan kepecayaan (trush) di mata publik dengan kondisi kinerja
birokrasi kita saat ini. Birokrasi dalam pemahaman tulisan ini adalah institusi
resmi yang melakukan fungsi pelayanan publik terhadap kebutuhan dan kepentingan
masyarakat.
Jika pemerintah kembali
menggaungkan gerakan reformasi khususnya reformasi birokrasi, sebenarnya
bukanlah gerakan reformasi baru tetapi masih menjadi rangkaian dari gerakan
reformasi total 1998 lalu. Salah satu agenda reformasi yang dituntut saat itu adalah menciptakan good governance dalam rangka
membentuk Indonesia baru. Ada tiga aktor utama yang berperan dalam menciptakan Good Governance yaitu :
Pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk didalamnya; dunia usaha
(swasta, dan usaha-usaha negara); dan masyarakat.
Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa
tersebut memiliki posisi, peran, tanggungjawab dan kemampuan yang
diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis berkelanjutan. Ketiga aktor tersebut dalam sistem
administrasi negara ditempatkan sebagai mitra yang setara.
Beberapa catatan
penting yang telah dilakukan berkaitan dengan gerakan reformasi sejak
terjadinya krisis multidimensi lima belas tahun lalu, antara lain revitalisasi
lembaga lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum presiden, gubernur, bupati
dan walikota secara langsung , keterbukaan informasi, desentralisasi dan
otonomi daerah serta perubahan tata kelolala pemerintahan yang dilakukan dalam
rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good
governance).
Dalam bidang ekonomi,
reformasi juga telah mampu membawa
kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke
dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia
dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik.
Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang
sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun
di Asia.
Dalam hal perwujudan
pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus
diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain
ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2011, Indeks
Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan
dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan
keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam
penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah
(SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Kementerian/Lembaga
dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa
Pengecualian (WTP).
Dalam hal pelayanan
publik, pemerintah belum dapat menyediakan layanan publik yang berkualitas
sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat
yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat
dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik
Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan
pada tahun 2010 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor
integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti
ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP),
kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi,
keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat
melakukan pengaduan.
Reformasi birokrasi merupakan usaha
mendesak, mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu perlu usaha-usaha serius agar pembaruan birokrasi menjadi
lancar dan berkelanjutan. Ada tiga
faktor yang perlu mendapat perhatian serius dalam melakukan reformasi
birokrasi yaitu faktor SDM (aparatur) faktor kelembagaan (struktur) dan faktor etika dan budaya
kerja (kultur).
Aparatur
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan
hasil yang optimal tanpa disertai Sumber Daya Manusia (aparatur) yang handal dan profesional. Peningkatan kapasitas aparatur menempati posisi pertama dalam konsep reformasi birokrasi mengingat bahwa unsur aparatur menjadi
penentu akhir dari keberhasilan reformasi birokrasi. Menyadari pentingnya peranan SDM aparatur dalam reformasi birokrasi, maka
sumber daya ini perlu dikelola secara maksimal. Karena itu falsafah yang
mendasari pengelolaan sumber daya ini dalam kurun waktu terakhir adalah
memberikan penghargaan yang layak serta memberikan peran yang memadai kepada
sumber daya ini dalam upaya lebih mengefektifkan penyelenggaraan negara yang
bersih dan berwibawa.
Peningkatan kapasitasaparatur merupakan bagian integral yang tidak
terpisahkan dengan konsep sumber daya manusia pada umumnya. Hanya saja
pemaknaan sumber daya aparatur lebih mengkhusus pada aparatur negara dalam hal
ini para pegawai negeri sipil. Karena itu konsep sumber daya aparatur lebih
dikenal dengan istilah sumber daya manusia secara mikro. Sedangkan
kajian sumber daya manusia secara universal lebih lazim dikenal dengan istilah
sumber daya manusia secara makro. Reformasi birokrasi di bidang aparatur secara
singkat meliputi tekad untuk melakukan penataan dan sistem rekrutmen
kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan
kesejahteraan. Hal ini
menjadi prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat
dari birokrat untuk berubah, maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak
kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan dikalangan birokrat, perlu ada
stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan,pemberian penghargaan
(reward) bagi pegawai yang berprestasi, tetapi
pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan
atau bekerja tidak benar.
Kultur
Kultur
birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur
kerja berbelit-belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya,
dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi,
melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya. Demikian pula halnya dalam pelayanan publik, kultur berbagi (sharing) informasi dan mempermudah urusan belum sepenuhnya
diterapkan oleh aparatur. Bahkan
ada pameo yang mengatakan “ Apabila bisa dipersulit kenapa harus dipermudah ”.
Dalam kondisi seperti ini banyak oknum yang menggunakan kesempatan untuk meraih
keuntungan Misalnya mengenakan biaya tinggi untuk satu produk perijinan yang
melampaui Standar Pelayanan Minimun (SPM) yang telah ditentukan dengan alasan
untuk biaya administrasi. Untuk melakukan reformasi dibidang ini maka langkah
kongkrit yang perlu dilakukan adalah ” membongkar
kebiasaan lama dan ganti kebiasaan baru ". yaitu merubah pola pikir (mind-set) dan
budaya kerja (culture-set)
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan
besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk dalam kurun yang
cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi
baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang
kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat
keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada
bawahan dan masyarakat.
Oleh karena itu reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi
dan bukan pada kekuasaaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah
rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
Struktur
Struktur kelembagaan birokrasi kita saat ini cenderung gemuk
dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting
dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan
permasalahan. Penciptaan struktur birokrasi yang
gemuk diakibatkan oleh keinginan
pemerintah mempertahankan status quo.
Di beberapa daerah otonom yang terkontaminasi dengan politisasi birokrasi,
sengaja mendesaian struktur organisasi pemerintahannya yang gemuk untuk menciptakan jabatan baru bagi kolega
yang tidak terakomodir pada jabatan struktural yang telah ada, padahal secara
profesionalisme mereka tidak memiliki kompetensi menduduki struktut jabatan.tersebut, namun
karena kepentingan politik penguasa maka struktur orgnisasi tersebut dibentuk.
Kondisi ini menimbulkan
struktur birokrasi yang amat hierarkis dan legalistik, sehingga prosedur
lebih bertujuan untuk memenuhi tuntutan
struktur dari pada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar amat
diperlukan dalam penyelenggaran program
pembangunan agar tidak menjadi terhambat., dan dalam birokrasi pembangunan yang
luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang
lebih parah prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi yang
dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk kepentingan pribadi maupun
kelompok. Oleh karena itu sudah saatnya bentuk struktur organisasi dibentuk
secara terbuka, fleksibel, ramping, pipih (flat),
rasional, efesien dan desentralisasi serta menyesuaikan diri perubahan sosial yang terjadi di masyarakat
serta kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).