Monday, June 03, 2013

REFORMASI BIROKRASI ; PERGULATAN APARATUR, KULTUR DAN STRUKTUR



OLEH :
MUSTARI MULA TAMMAGA
            "Bukan zamannya lagi slogan yang perlu aksi dan bukti". Begitu kira kira  bunyi komentar salah satu akun di facebook Warta Kominifo Polman ketika mem-publish status terbarunya berkaitan dengan pencanangan salam reformasi, Jumat Semangat serta gerakan taati jam kerja yang digelar oleh Pemkab Polewali Mandar beberapa waktu lalu. Ironi memang,  disaat pemerintah bertekad untuk melakukan perubahan, sepertinya publik  tidak terlalu  memberi respon, bahkan pesimis dan cenderung apatis.
Mengapa ?  karena pemerintah  telah  kehilangan kepecayaan (trush)  di mata publik dengan kondisi kinerja birokrasi kita saat ini. Birokrasi dalam pemahaman tulisan ini adalah institusi resmi yang melakukan fungsi pelayanan publik terhadap kebutuhan dan kepentingan masyarakat.
Jika pemerintah kembali menggaungkan gerakan reformasi khususnya reformasi birokrasi, sebenarnya bukanlah gerakan reformasi baru tetapi masih menjadi rangkaian dari gerakan reformasi total 1998 lalu. Salah satu agenda reformasi yang dituntut saat itu  adalah menciptakan good governance dalam rangka membentuk Indonesia baru. Ada tiga aktor utama yang berperan  dalam menciptakan Good Governance yaitu : Pemerintahan negara dimana birokrasi termasuk didalamnya; dunia usaha (swasta, dan usaha-usaha negara); dan masyarakat. Ketiga aktor yang berperan dalam penyelenggaraan negara dan pembangunan bangsa tersebut memiliki posisi, peran, tanggungjawab dan kemampuan yang diperlukan untuk suatu proses pembangunan yang dinamis berkelanjutan. Ketiga aktor tersebut dalam sistem administrasi negara ditempatkan sebagai mitra yang setara.
Beberapa catatan penting yang telah dilakukan berkaitan dengan gerakan reformasi sejak terjadinya krisis multidimensi lima belas tahun lalu, antara lain revitalisasi lembaga lembaga tinggi negara, dan pemilihan umum presiden, gubernur, bupati dan walikota secara langsung , keterbukaan informasi, desentralisasi dan otonomi daerah serta perubahan tata kelolala pemerintahan yang dilakukan dalam rangka membangun pemerintahan negara yang mampu berjalan dengan baik (good governance).
Dalam bidang ekonomi, reformasi juga telah mampu  membawa kondisi ekonomi yang semakin baik, sehingga mengantarkan Indonesia kembali ke dalam jajaran middle income countries (MICs). Oleh karena itu, Indonesia dipandang sebagai negara yang berhasil melalui masa krisis dengan baik. Meskipun demikian, kondisi itu belum mampu mengangkat Indonesia ke posisi yang sejajar dengan negara-negara lain, baik negara-negara di Asia Tenggara maupun di Asia.
Dalam hal perwujudan pemerintahan yang bersih dan bebas KKN, masih banyak hal yang harus diselesaikan dalam kaitan pemberantasan korupsi. Hal ini antara lain ditunjukkan dari data Transparency International pada tahun 2011, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia masih rendah (2,8 dari 10) jika dibandingkan dengan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Akuntabilitas pengelolaan keuangan negara, kualitasnya masih perlu banyak pembenahan termasuk dalam penyajian laporan keuangan yang sesuai dengan Standar Akuntansi Pemerintah (SAP). Opini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas laporan keuangan Kementerian/Lembaga dan Pemda masih banyak yang perlu ditingkatkan menuju ke opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
Dalam hal pelayanan publik, pemerintah belum dapat menyediakan layanan publik yang berkualitas sesuai dengan tantangan yang dihadapi, yaitu perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin maju dan persaingan global yang semakin ketat. Hal ini dapat dilihat dari hasil survei integritas yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada tahun 2009 yang menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik Indonesia baru mencapai skor 6,64 dari skala 10 untuk instansi pusat, sedangkan pada tahun 2010 skor untuk unit pelayanan publik di daerah sebesar 6,69. Skor integritas menunjukkan karakteristik kualitas dalam pelayanan publik, seperti ada tidaknya suap, ada tidaknya Standard Operating Procedures (SOP), kesesuaian proses pelayanan dengan SOP yang ada, keterbukaan informasi, keadilan dan kecepatan dalam pemberian pelayanan, dan kemudahan masyarakat melakukan pengaduan.
Reformasi birokrasi merupakan usaha mendesak, mengingat implikasinya yang begitu luas bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu  perlu usaha-usaha serius agar pembaruan birokrasi menjadi lancar dan berkelanjutan. Ada tiga faktor yang perlu mendapat perhatian serius dalam melakukan reformasi birokrasi  yaitu faktor SDM (aparatur) faktor kelembagaan (struktur) dan faktor etika dan budaya kerja (kultur).
Aparatur
Semua upaya reformasi birokrasi tidak akan memberikan hasil yang optimal tanpa disertai Sumber Daya Manusia (aparatur)  yang handal dan profesional. Peningkatan kapasitas aparatur  menempati posisi pertama dalam  konsep reformasi birokrasi  mengingat bahwa unsur aparatur menjadi penentu akhir dari keberhasilan reformasi birokrasi. Menyadari pentingnya peranan SDM  aparatur dalam reformasi birokrasi, maka sumber daya ini perlu dikelola secara maksimal. Karena itu falsafah yang mendasari pengelolaan sumber daya ini dalam kurun waktu terakhir adalah memberikan penghargaan yang layak serta memberikan peran yang memadai kepada sumber daya ini dalam upaya lebih mengefektifkan penyelenggaraan negara yang bersih dan berwibawa.
Peningkatan kapasitasaparatur merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dengan konsep sumber daya manusia pada umumnya. Hanya saja pemaknaan sumber daya aparatur lebih mengkhusus pada aparatur negara dalam hal ini para pegawai negeri sipil. Karena itu konsep sumber daya aparatur lebih dikenal dengan istilah sumber daya manusia secara mikro. Sedangkan kajian sumber daya manusia secara universal lebih lazim dikenal dengan istilah sumber daya manusia secara makro. Reformasi birokrasi di bidang aparatur secara singkat meliputi tekad untuk melakukan penataan dan sistem rekrutmen kepegawaian, sistem penggajian, pelaksanaan pelatihan, dan peningkatan kesejahteraan. Hal ini menjadi prasyarat penting, karena tanpa disertai tekad yang kuat dari birokrat untuk berubah, maka reformasi birokrasi akan menghadapi banyak kendala. Untuk memperkuat tekad perubahan dikalangan birokrat, perlu ada stimulus, seperti peningkatan kesejahteraan,pemberian penghargaan  (reward)  bagi pegawai yang berprestasi,   tetapi pada saat yang sama tidak memberikan ampun bagi mereka yang membuat kesalahan atau bekerja tidak benar.
Kultur
Kultur birokrasi kita begitu buruk, konotasi negatif seperti mekanisme dan prosedur kerja berbelit-belit dan penyalahgunaan status perlu diubah. Sebagai gantinya, dilakukan pembenahan kultur dan etika birokrasi dengan konsep transparansi, melayani secara terbuka, serta jelas kode etiknya. Demikian pula halnya dalam pelayanan publik, kultur berbagi (sharing) informasi  dan mempermudah urusan belum sepenuhnya diterapkan oleh aparatur.  Bahkan ada pameo yang mengatakan “ Apabila bisa dipersulit kenapa harus dipermudah ”. Dalam kondisi seperti ini banyak oknum yang menggunakan kesempatan untuk meraih keuntungan Misalnya mengenakan biaya tinggi untuk satu produk perijinan yang melampaui Standar Pelayanan Minimun (SPM) yang telah ditentukan dengan alasan untuk biaya administrasi. Untuk melakukan reformasi dibidang ini maka langkah kongkrit yang perlu dilakukan adalah ” membongkar kebiasaan lama dan ganti kebiasaan baru ". yaitu merubah pola pikir (mind-set) dan budaya kerja (culture-set)
Reformasi birokrasi merupakan pekerjaan besar karena menyangkut sistem besar negara yang mengalami tradisi buruk dalam kurun yang cukup lama. Untuk memutus tradisi lama dan menciptakan tatanan dan tradisi baru, perlu kepemimpinan yang kuat dan yang patut diteladani. Kepemimpinan yang kuat berarti hadirnya pemimpin-pemimpin yang berani dan tegas dalam membuat keputusan. Sedangkan keteladanan adalah keberanian memberikan contoh kepada bawahan dan masyarakat. Oleh karena itu reformasi birokrasi harus berorientasi pada demokratisasi dan bukan pada kekuasaaan. Perubahan birokrasi harus mengarah pada amanah rakyat karena reformasi birokrasi harus bermuara pada pelayanan masyarakat.
Struktur
Struktur kelembagaan birokrasi kita saat ini cenderung gemuk dan tidak efisien. Rasionalisasi kelembagaan dan personalia menjadi penting dilakukan agar birokrasi menjadi ramping dan lincah dalam menyelesaikan permasalahan. Penciptaan struktur birokrasi yang gemuk  diakibatkan oleh keinginan pemerintah mempertahankan status quo. Di beberapa daerah otonom yang terkontaminasi dengan politisasi birokrasi, sengaja mendesaian struktur organisasi pemerintahannya yang gemuk  untuk menciptakan jabatan baru bagi kolega yang tidak terakomodir pada jabatan struktural yang telah ada, padahal secara profesionalisme mereka tidak memiliki kompetensi  menduduki struktut jabatan.tersebut, namun karena kepentingan politik penguasa maka struktur orgnisasi tersebut dibentuk.
Kondisi ini menimbulkan  struktur birokrasi yang amat hierarkis dan legalistik, sehingga prosedur lebih bertujuan  untuk memenuhi tuntutan struktur dari pada manfaat. Fleksibilitas dan arus komunikasi yang lancar amat diperlukan dalam penyelenggaran  program pembangunan agar tidak menjadi terhambat., dan dalam birokrasi pembangunan yang luar biasa besarnya di Indonesia, prosedur menjadi amat kaku dan lamban. Yang lebih parah prosedur yang mencekik ini ditumpangi kepentingan pribadi yang dijadikan komoditi yang diperdagangkan untuk kepentingan pribadi maupun kelompok. Oleh karena itu sudah saatnya bentuk struktur organisasi dibentuk secara terbuka, fleksibel, ramping, pipih (flat), rasional, efesien dan desentralisasi serta menyesuaikan diri  perubahan sosial yang terjadi di masyarakat serta kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK).

No comments: