Monday, October 04, 2010

ENTOGRAFI BUDAYA MASYARAKAT MANDAR

Oleh :

Drs. Anwar Sewang, M.Ag

(Sumber : Sosialisasi Siri pada Masyarakat Mandar, Penerbit Yayasan Maha Putra Mandar, 2001)

A.Daerah Penelitian

Mandar adalah nama suatu suku (etnis) bangsa dan nama budaya dalam Lembaga Kebudayaan Nasional dan Lembaga Pengkajian Budaya Nasional. Diistilahkan sebagai etnis karena Mandar merupakan salah satu kelompok etnis dari empat suku utama yang mendiami kawasan propinsi Sulawesi Selatan yakni etnis Makassar (Mangkasara’ ) etnis Bugis (Ogi’ ), etnis Toraja (Toraya)1. pengelompokan ini dimasukkan dalam suatu kelompok pengkajian yang disebut “Lagaligologi”.

Mandar sesuai dengan makna kuantitas yang dikandungnya dalam konteks geografis meliputi wilayah dari batas Paku (Wilayah Polmas) sampai Suremana (Wilayah Kabupaten Mamuju). Akan tetapi dalam makna kualitas serta simbol dapat kita batasi diri dalam lingkup kerajaan Balanipa sebagai peletak dasar pembangunan kerajaan (landasan ideal dan landasan struktural), dan sebagai bapak (ketua) perserikatan seluruh kerajaan dalam wilayah Mandar Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga.

Mengenai nama Mandar dalam catatan sejarah, kita ketemukan dalam sastra Ilagaligo, dengan istilah Manre’, dam dalam naskah Allamungang Batu di Luyo di sebut dengan istilah “Sipandar”, sedangkan nam yang masih melekat pada indikasi geografis adalah “Ulu Mandar” (daerah hulu sungai Mandar yang mengalir di Tinambung-Polmas). Walaupun demikian, orang-orang yang berasal dari daerah ini masih mengenal istilah Lita’ Mandar yang indikasinya menunjuk pada seluruh bekas wilayah Afdeling Mandar. Tentang nama Mandar itu sendiri masih diliputi tanda tanya besar yang memerlukan pengamatan dan penelitian yang mendalam dan mendasar hingga kini. Namun demikian para sarjana Barat (peneliti) yang telah menyinggung dalam tulisannya tentang Mandar antara lain : Van Vollendhoven (1933) menyebutkan sebagai “de seven Bond Mandar”; Nikoles Gravaise (1685-1701) menyebutkan sebagai “The Kingdom of Mandar”; Andaya (1981) yang sukar memisahkan antara Balanipa dan Mandar; Mallincroft (1933) menyebutnya wilayah-wilayah kerajaan pegunungan; pemerintah kolonial menyebutnya sebagai Bandge nootschapp elijke landen (arsip nasional 1838-1848), dan kemudian berubah menjadi wilayah dibawah kekuasaan Asisten Residen Mandar dan wilayahnya disebut Afdeling Mandar.2

Dalam Assitalliang (perjanjian) Tamajarra’I dan perjanjian Tamajarra II 3 dan begitu pula Allanuangang Batu (Ikrar Sipamandar) di Luyo 4 mengisyaratkan bahwa Mandar sebagai konsep wilayah dan konsep budaya lahir dari kesepakatan dan kesadaran serta tuntunan rasa persatuan dan kesatuan empat belas kerajaan dalam wilayah etnis Mandar yakni tujuh buah kerajaan di pesisir pantai dalam kelompok kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ba’bana Binanga dan tujuh buah kerajaan pegunungan dalam kelompok kerajaan Pitu Ulunna Salu. Prakarsa dan koordinasi dilaksanakan oleh kerajaan Balanipa dan kemudian menjadi pusat konfederasi Mandar. 5

Oleh karena kesepakatan dalam perjanjian Tamajarra’ dan Ikrar Sipamanda diatas terjadi sebelum pemerintahan kolonial masuk ke Mandar, maka dalam struktur pemerintahan mencaploknya sebagai wilayah pemerintahan dengan sebatas Afdeling Mandar yang luas wilayahnya meliputi tiga kabupaten dati II sekarang ini yaitu kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju.

Kata Manda atau Mandar dalam Ikrar Sipamanda di Luyo terdapat pengertian yang sinonim dengan kuat, sehingga makna Sipandar di Luyo diartikan sebagai suatu ikrar bersama untuk lebih memperkokoh persatuan dan kesatuan diantara mereka yang didorong oleh tuntutan dan pengalaman sejarah yang mereka alami.6

Dalam pengertian yang mungkin lebih mendekati makna esensi dan aktualitas Mandar ialah dengan memberi tambahan akhiran “an” pada kata Sipamandar menjadi Sipamandaran. Terkait dengan Ikrar Aipamanda di Luyo, Sipamandaran dapat dilihat dari tiga sisi. Dari sisi kultural Sipamandaran berarti bahwa mereka yang terikat dalam Ikrar Sipamandar di Luyo itu berasal dari satu kesatuan budaya dan wilayah yang disebut Mandar, dari sisi historis dan kearifan sejarah dapat berarti bahwa mereka yang terikat dengan ikrar Sipamandar di Luyo sebelumnya memang telah menyatu dalam satu kesatuan wilayah geografis dan budaya, akan tetapi proses wilayah telah mencerai-beraikan mereka sehingga mereka harus memperbaharui eksistensi dan subtansi dalam Ikrar Sipamandar, sedang dari sisi geneologis masih terdapat mitos dari daerah pegunungan dan daerah pantai yang menerangkan bahwa nenek moyang mereka berasal dari satu leluhur yakni Pongkapadang (laki-laki) dan Torijenne (perempuan).7

Dengan demikian Ikrar Sipamandar di Luyo adalah rekonstruksi sejarah, rekonstruksi sosial budaya, sosial politik dan rekonstruksi wilayah secara bulat dan utuh. Dikatakan demikian karena melalui Ikrar Sipamandar di Luyo dan juga dasar perjanjian Tammajarra II adalah tekad penyatuan (Allewuang) kembali keluarga besar Pongkapadang/Torijenne dalam satu tatanan negara persatuan yang terpecah dan bersengketa sebelumnya, akibat pertumbuhan sosio-historis budaya, politik yang berbeda. Sehingga makna Sipamandar di Luyo lebih aktual pada makna Sipamandaran, yakni pengakuan bersama bahwa mereka terkait dengan kata Mandar sebagi kesatuan budaya dan kesatuan geonologis.

Kurun waktu kehadiran Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang (wilayah kecamatan Mambi sekarang). Apabila diambil patokan pada masa berdirinya kerajaan Balanipa awal abad ke XVI dengan rajanya yang pertama I Manyambungi Todilaling (periode Todilaling berpatokan pada masa pemerintahan Tumapa’risi Kallonna, raja IX di Gowa tahun 1510-1546) dan jarak seperti patokan A. Tenri Aji, antara Pongkapadang dengan Todilaling sekitar tujuh generasi maka keberadaan Pongkapadang/Torijenne di Tabulahang sekitar abad XIII.8

Apabila kita berpatokan pada indikasi zaman logam dengan munculnya nama/sebutan seperti te’eng bassi (tongkat dari besi) dan masa jayanya zaman logam di Nusantara sekitar abad V atas lagi dari dari abad XIII seperti patokan pada tujuh generasi sebelum Todilaling. Bahkan menurut penurutan Prof. Dr. MR. Andi Zainal Abidin Farid, S.H. bahwa istilah To Menree (sebutan Mandar bagi orang Bugis) sudah tertera dalam buku sastra I Lagaligo yang ditulis dalam abad IX. Dalam tulisan yang lain beliau menyimpulkan bahwa disebutnya kerajaan-kerajaan Menre’ dalam buku sastra I Lagaligo itu bermakna bahwa kerajaan-kerajaan itu adalah kerajaan tua yang mungkin telah berdiri sejak abad IX. Buku sastra itu tentu mengandung beberapa fakta sejarah, sebagaimana halnya dengan abad dan hikayat.9

Dalam seminar kebudayaan Mandar di Tinambung tahun 1971, telah dikembangkan pemikiran bahwa mula pertama persekutuan di Mandar, perkawinan antara proto Melayu (Melayu muda) yang secara simbolis diwakili oleh Torijenne (perempuan) dengan Melayu tua yang secara simbolis diwakili oleh Pongkapadang (laki-laki) yang turunan dari hasil perkawinan itu atau percampuran tersebut yang telah tersebar dalam wilayah geografis wilayah etnis Mandar sekarang ini 10 yang kemudian penulis menyebutnya masyarakat Mandar.

Berdasarkan fakta-fakta dan realitas sejarah sebagaimana diuraikan diatas menunjukkan bahwa Mandar baik dipandang dari sudut wilayah geografis, sosial politik dan budaya maupun dari sudut demografi (penduduknya) ternyata kerajaan Balanipa yang sekarang dalam wilayah kabupaten Polmas merupakan inti dari Mandar itu sendiri. Fakta sejarah ini sekaligus membantah pernyataan Laica Marzuki dalam disertasinya menyebutkan bahwa suku Mandar berjumlah kurang lebih 200.000 jiwa, mendiami kabupaten-kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju.11 Padahal oleh H. Saharuddin dalam bukunya : Mengenal Pitu Ba’bana Binanga Mandar dalam Lintasan Sejarah Pemerintahan Daerah di Sulawesi Selatan yang ditulis sepuluh tahun lebih dahulu dari disertai M. Laica Marzuki, suku Mandar yang mendiami kabupaten-kabupaten Polmas, Majene dan Mamuju + lebih 600.000 jiwa.12

Masyarakat Mandar sebagai salah satu kelompok etnis dari empat suku bangsa utama yang mendiami kawasan Sulawesi Selatan yaitu : Mangkasara’ (orang Makassar), Ugi’ (orang Bugis) mendiami Tana Ugi’ (negeri Bugis), Toraya (orang Toraja) mendiami Tanah Toraja, dan Mandar (Orang Mandar) mendiami Lita’ Mandar, tanah Mandar (negeri Mandar).

Eksisitensi masing-masing suku bangsa diatas masih berlangsung hingga kini, bahkan mereka tetap mengidentifkasikan dirinya dalam berbagai pranata sosial dan budaya. Pranata-pranata itu menumbuhkan berbagai sikap dan prilaku yang memberi rasa bangga pada diri masing-masing suku bangsa tersebut. Realitas seperti itu dapat dilihat pada berbagai pola budaya yang tampak pada prilaku mereka sehari-hari. Hal tersebut menumbuhkan rasa memiliki berbagai sistem budaya yang berbeda dalam pola dan gaya tersebut dinamakan ada’ (adat).

Perbedaan sistem budaya keempat suku bangsa diatas diwarnai oleh letak geografi. Hal ini berpengaruh pada perjalanan dan pertumbuhan sejarah masing-masing secara khusus (historical particularism). Kekhusuan itu menandai adanya perbedaan penampilan dari berbagai elemen budaya yang dapat dilihat pada pola tingkah laku mereka. Namun, satu dengan yang lainnya saling berhubungan dan dapat dibuktikan melalui bahasa dan budaya. Pola tingkah laku tersebut merupakan cerminan dari Pangngadereng orang Bugis, Pangngadakkang orang Makassar, Aluk sola pemali (adat dan pau tangan) orang Toraja dan O diada’ O dibiasa (adat dan kebiasaan) orang mandar.13

Elemen-elemen budaya yang mewarnai pola prilaku keempat suku bangsa utama di Sulawesi Selatan itu telah berbenturan dengan elemen-elemen budaya baru, seperti budaya Barat dan budaya modern lainnya yang terkadang lebih dominan dijadikan acuan dalam berprilaku bagi sebagian kecil masyarakat Mandar. Benturan serupa terjadi terhadap kaidah-kaidah ajaran agam yang dianut dalam masyarakat Mandar, bahkan konsep budaya keempat suku utama di Sulawesi Selatan ini banyak diwarnai oleh ajaran agama-agama yang dianut oleh masyarakat (Islam dan Kristen). Haltersebut diatas akan jelas pada uraian adat-istiadat masyarakat Mandar.

B.Adat-Istiadat Masyarakat Mandar

Suku Mandar adalah salah suku bangsa yang mendiami daerah Sulawesi Selatan baguan barat di sekitar 0.5o-3.5o LS dan 118o-119.5o BT.

Pada jaman penjajahan Belanda daerah ini disebut Afdeling Mandar, dengan ibukota Majene, tetapi setelah Indonesia merdeka berdasarkan Undang-Undang No. 29/1959 daerah atau Afdeling Mandar tersebut dibagi menjadi Kabupaten Polewali Mamasa (Polmas), Kabupaten Majene dan Kabupaten Mamuju.

Salah satu kerajaaan yang paling terkenal di daerah Mandar yang berpusat dalam wilayah Kabupaten Polewali Mamasa sekarang ini adalah kerajaan Balanipa yang berkedudukan di daerah Kecamatan Tinambung.

Dahulu kerajaan Balanipa merupakan salah satu kerajaan Mandar yang terbesar dan terkenal. Dalam perjanjian Luyo bahkan disebutkan antara lain “Amai Balanipa, Indoi Sendana…” yang artinya “Balanipa adalah bapak, Sendana adalah ibu…” sampai saat pecahnya perang Pasifik (1942) kerajaan atau swapraja Balanipa masih merupakan kerajaan Mandar yang terpenting dan raja Balanipa masih merupakan raja atau tokoh yang sangat dihormati oleh orang-orang Makassar. Tidaklah pula salah jikalau dikatakan bahwa Balanipa dapat merupakan model daripada kehidupan kebudayaan dan adat-istiadat suku Mandar.

Di dalam Lontara Mandara disebutkan bahwa To Manurung tidak turun di daerah Mandar tetapi turun di hulu Sungai Saddang yang kemudian beranak tujuh orang yang menyebar keseluruh daerah Sulawesi Selatan, salah satu anaknya yaitu Pongkapadang datang ke daerah Mandar menurunkan 11 orang anak. Kemudian salah satu dari sebelas orang anak itu bernama To Bittoeng yang kawin dengan salah seorang anak To Makaka’ Napo, dari perkawinan tersebut lahirlah I Manyambungi yang kemudian diangkat menjadi Arajang Balanipa yang pertama didaerah Mandar. Setelah wafat beliau di sebut To Dilaling, makamnya terdapat di Desa Napo, daerah bekas Distrik Limboro Kecamatan Tinambung Kabupaten Polmas. Mungkin raja I Manyambungi inilah ayah I Rerasi, ibu raja Gowa yang IX, Tuma’risi’ Kallonna (bertahta tahun 1511-1547) merupakan salah satu raja Gowa yang besar dalam sejarah. Kapan kerajaan Balanipa pertama didirikan belum diperoleh kepastian, menurut M. Darwis Hamzah dalam bukunya “Polmas Dalam Pergelaran Kesenian Sulselra” behwa pada abad ke 15 I Manyambungi diangkat oleh rakyat balanipa menjadi Arajang (Maradia) Balanipa.14

Orang berpendapat bahwa dialah raja pertama pertama kerajaan Balanipa. Karena sepanjang riwayat/cerita yang diceritakan dari mulut ke mulut dari generasi ke generasi tak pernah tersebut ada raja Balanipa sebelumnya. Turunan To Dilaling inilah yang menjadi cikal-bakal bangsawan-bangsawan Mandar.

Dari kondisi inilah yang kemudian berkolaborasi dengan kearifan sejarah untuk kemudian melahirkan teradisi seperti yang masih dapat kita jumpai sekarang, dan merupakan ciri khas daerah Mandar yang penulis rinci sebagai berikut :

1. Sistem Kekerabatan

Suku Mandar, pada umumnya mengikuti kedua garis keturunan ayah dan ibu yaitu sistem bilateral.

2. Keluarga inti dan keluarga luas

Suku Mandar biasanya ayah, ibu dan anak mereka yang sekolah di tempat lain. Adapun keluarga luas di Mandar terkenal istilah mesangana, di Bugi asseajing, keluarga luas yaitu famili-famili yang dekat dan sudah jauh tetapi ada hubungan keluarga . mereka tidak mendiami hanya satu daerah, tetapi tersebar di beberapa tempat (daerah).

3. Status dalam rumah tangga

Disini kita melihat ada sedikit perbedaan dengan dengan suku Bugis, kerana didaerah Bugis pada umumnya wanita yang memegang peranan dalam peraturan rumah tangga. Suami sebagai kepala rumah tangga yang bertanggung jawab atas keluarganya mempunyai tugas tertentu, yaitu mencari nafkah, untuk menghidupi keluarganya. Sebaliknya di Mandar, wanita tidak hanya mengurus rumah tangga, tetapi mereka aktif dalam pengurusan pencaharian nafkah, mereka mempunyai prinsip hidup, yaitu Sibaliparri, yang artinya sama-sama menderita (sependeritaan) seperti : Kalau laki-lakinya (sang suami) menangkap ikan, setelah sampai di darat tugas suami dianggap selesai, maka untuk penyelesaian selanjutnya adalah tugas istri terserah apakah ikan itu akan dijual atau akan dimakan, dikeringkan, semua itu adalah tugas si istri. Di daerah Bugis wanita juga turut mencari nafkah tetapi terbatas pada industri rumah, kerajinan tangan,menenun anyaman, dan lain-lain.

Di daerah Mandar terkenaldengan istilah hidup, sirondo-rondoi, siamasei, dan sianauang pa’mai.15

Sirondo-rondoi dimaksudkan bekerjasama bantu membantu dalam mengerjakan sesuatu pekerjaan baik yang ringan maupun yang berat. Jadi dalam rumah tangga kedua suami istri bergotong royong dalam membina keluarga. Siamamasei, sianuang pa’mai, (sayang menyayangi, kasih mengasihi, gembira sama gembira dan susah sama susah.

Secara keseluruhan dapat ditarik kesimpulan bahwa adanya kerjasama bantu membantu baik yang bersifat materil maupun sprituil.

4. Akhlak (sopan santun)

Pada umumnya suku Mandar ramah-tamah yang muda menghormati yang tua. Kalau orang tua berbicara dengan tamu, anak-anak tidak boleh ikut campur (ikut bersuara).

a. Mengalah yaitu kalau menghadap raja, kaki tangan dilipat.

b. Meminta permisi kalau lewat didepan orang dengan menyebut Tawe.

c. Kalau bertamu sudah lama, mereka minta permisi yang disebut massimang.

5. Stratifikasi Sosial

Pelapisan masyarakat di daerah Mandar nampaknya masih ada walaupun tidak menjadi hal yang mutlak dikedepankan lagi dalam pergaulan keseharian. Hal ini dapat diperhatikan jika kita membaca sejarah Mandar.

Kerajaan-kerajaan yang masih mempunyai kedaulatan pada masa berkuasanya raja-raja dahulu hakekatnya terbagi dalam dua stratifikasi, yaitu lapisan penguasa dan lapisan yang dikuasai. Sistem mobilisasi sosial orang Mandar memiliki sifat yang amat sederhana dan elastis dimana lapisan penguasa bukan hanya dari golongan tomaradeka (orang biasa), apabila mereka mampu memperlihatkan prestasi sosialnya, misalnya : to panrita, 16 to sugi, 17 to barani, 18 to sulasana, 19 dan to ajariang. 20

Kelima macam tersebut ditempatkan dalam lapisan elit (golongan atas orang terpandang). Dengan demikian terjadilah mobilisasi sosial horisontal bagi anak puang. Lambat laun nampak pelapisan masyarakat ini makin tipis akibat pembauran dalam bentuk perkawinan. Kelima golongan tadi juga memiliki andil untuk dipilih sebagai pemimpin dalam masyarakat karena kelebihannya itu.

Struktur masyarakat di daerah Mandar pada dasarnya sama dengan susunan masyarakat di seluruh daerah di Sulawesi Selatan, dimana susunan ini berdasarkan penilaian daerah menurut ukuran makro yaitu : 1. Golongan bangsawan raja, 2. Golongan bangsawan hadat atau tau pia, 3. Golongan tau maradeka yakni orang biasa, 4. Golongan budak atau batua.21

Golongan bangsawan hadat ini merupakan golongan yang paling banyak jumlahnya. Mereka tidak boleh kawin dengan turunan bangsawan raja supaya ada pemisahan. Raja hanya sebagai lambang sedangkan hadat memegang kekuasaan. Friedricy 22 (ahli sosiologi) pernah menulis tentang lapisan masyarakat pelapisan masyarakat Mandar :

a. To diang layana (Zij die vors tenbloed hebben)

1. De Arajang (de regeerende vorstengersladht).

2. De Ana Mattola Payung (de opvolgers van vorige vorsten).

3. De Araddia Tallupparappa (de drie kwart maradia’s).

4. De Puwang Sassigi (de halve heeren).

5. De Puwang Siparapa (de kwart heeven).

b. Tau Maradeka (Bevrijejen).

1. De Tau Pia (regenten adel).

2. Tau Pia Nae (hoorgere hoofdengeslachten).

3. Tau Pia (lagere hoofdengeslachten).

c. Batuwa

1. Batua Sassorang (erpslapen) (Budak turun temurun)

2. Batuwa Dialli (nieuwe salavan) (Budak yang dibeli)

d. Batua Inrangang (menjadi sahaya karena kalah perang atau karena berutang).23

Menurut Ahmad Sahur dalam teorinya manifestasi gotong royong dalam masyarakat Mandar, bukan puang sassigi melainkan puang sassigi, bukan tau pia melainkan tau mapia karena tau pia tidak ada artinya dalam bahasa Mandar.

Menurut Dr. Darmawan Mas’ud mungkin Friedericy benar kalau dia mentranskripsikan dari huruf lontara. Puwa bisa dibaca Puang, bisa juga Pua, karena huruf lontara tidak menggunakan huruf mati. Sesudah agama islam masuk ke daerah ini perbudakan dihapuskan, akan tatpi sahaya-sahaya tersebut tetap setia pada tuannya sampai sekarang. Kalau ada diantara mereka yang menikah dia berusaha menghadirkan tuannya. Hal ini sudah merupakan tradisi turun-temurun dan yang menarik di daerah Mandar, ialah golongan bangsawan hadat di daerah lain tidak ditemukan golongan tersebut. Golongan ini yang paling banyak jumlahnya dan ini yang paling ketat memegang adat. Golongan bangsawan raja tidak boleh kawin dengan golongan bangsawan hadat. Kalau terjadi perkawinan demikian, maka keturunannya tidak boleh menjadi raja di kerajaan Pitu Ba’bana Binanga. Maka timbulnya hadat yang pertama menurut lontara Mandar sebenarnya merupakan hasil musyawarah antara bersaudara anak Tomakaka Napo. Puang di Gandang kemudian beranak Todilaling dengan

Puang di Tamajarra' yang kemudian beranak puang di Pojosang. dan puang'di Pojosang inilah yang menjadi hadat yang pertama Mam Majelis Hadat berfungsi sebagai menteri urusan dalam negeri. Dan sebagai hadat yang paling tinggi. Turunan beliau inilah ang, .menjadi cikal-bakal bangsawan hadat, sedangkan Todilaling menjadi Arajang yang pertama dan seterusnya turunan turunannya dengan perjanjian sebagai berikut: "...Upakayyango mupakaraya, madondong duambungi anna mapparattas o wakeq, marropo-ropo batu wali membali akayyangang ... "artinya hadat berkata pada raja, "...engkau terangkat menjadi orang terhormat, tetapi engkau wajib memuliakan saya, besok lusa jika engkau berlaku tidak senonoh dan berbuat sesuatu yang menjadikan kerusakan dan kehancuran negeri, maka akan saya ambil kembali kebesaranmu’’.24

Demikian perjanjian ini berlaku sampai sekarang dimana bangsawan raja dalam waktu mana saja wajib menghormati bangsawan hadat, ditandai dengan panggilan puang, dan ; bangsawan hadat menghormati dengan ditandai dengan panggilan daeng, utamanya di dalam acara-acara resmi kerajaan.

Dari perjanjian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa raja tidak dapat bertindak sendiri tanpa persetujuan hadat. Gelar Andi di Mandar baru ada sesudah pengaruh Bugis masuk di daerah Mandar.

6. Sistem Pangetahuan

Seorang laki-laki atau wanita suku Mandar sebelum ia menikah pada umumnya sering diberi bekal berupa pengetahuan tentang hidup berkeluarga, ciri-ciri wanita atau laki-laki yang membawa sial atau keuntungan-keuntungan, orang yang disinggung; membawa sial yang disebut patula-tula yakni selalu meninggal suami atau istrinya.

Suku mandar mempunyai pengetahun tentang tahi lalat, tanda yang disebut baba, yakni tanda yang berwarna merah atau hitam yang di bawah sejak lahir, bentuk tubuh dan sebagainya yang dianggap balk atau tidak baik. Mereka juga mengenal waktu, hari, bulan yang baik atau tidak baik.25

1. Satu hal yang dapat dijadikan contoh adalah tahi lalat yang dalam bahasa Mandar tai lali yang terpola dalam pembagian sebagai berikut :

a) Jika terdapat di leher atau bahu (di tengah) menandakan bahwa wanita atau laki-laki terutama wanita selalu mujur dan tidak pernah kekurangan makan.

b) Wanita yang mempunyai tahi lalat di antara kedua alisnya, baik sekali dijadikan istri karena ia seorang yang membawa kemujuran. . .

c) Wanita,-yang mempunyai tahi lalat di bawah lubang

ludungnya tidak baik dijadikan istri.

d) Wanita yang mempunyai tahi lalat di bawah mata sering suka menangis.

e) Laki-laki yang mempunyai tahi lalat pada alat kelaminnya

sering patula-tula (istrinya selalu meninggal).

f) Wanita yang ;mempunyai tahi lalat pada alat kelaminnya

sering meninggal anaknya.

2. Mitos orang yang mempunyai baba :

a. Dan pusat ke atas pertanda baik

b. Dan pusat ke bawah pertanda tidak baik

1) Sifat dan kelakuan manusia suka marah ada garis di tengah ' dahi

2) Bulu mata yang panjang cepat terharu

3) Bulu yang dianggap balk, bulan Haji, bulan-Safar; bulan Maulid, Sa'ban, dan Zulhijjah.

4) Bulan yang dianggap tidak baik: bulan Tassifi, yaitu bulan antara Idul Fitri dan Idul Adha yakni Zulkaiddah. Suku Mandar sama halnya suku Bugis; mempunyai kepercayaan tentang waktu, maka di dalam melaksanakan upacara perkawinan dan dipilih bulan dan hari yang baik. Seperti pada bulan Tassipi (Zulkaiddah) tidak ada orang yang melaksanaankan perkawinan, tetapi sebalilnya pada bulan Sya'ban, Zulhijjah, Safar, banyak yang melaksanakan perkawinan.26

iii. Mitos burung hantu (karra) kalau berbunyi membawa alamat berbunyi satu kali panjang melewati hubungan, tanda akan melewati berita tidak baik..

iv. Kupu-kupu warna biasa masuk rumah tanda akan ada rezki

v. Cecak (sassak) berbunyi sedang mengobrol tanda setuju.

vi. Kucing (posa) yang ekornya bercabang, membawa banyak rezki dan baik dipelihara.

vii Kucing (posa) mengusap mukanya tanda akan ada rezki

viii.Ular masuk rumah membawa kecelakaan

ix. Ayam(manu') betina dengan betina berlaga tanda ada tamu

x. Anjing. (asu) melong-long tengah malam tanda melihat setan 27

Untuk upacara adat; sirih (pamera'), pinang (taduh), kelapa (anjoro), pisang (loka), tebu (pambe), daun pacar (lattigi) semua mengandung arti simbolis yang baik.28

Untuk ramuan obat : yaitu sirih dan dikeke.

7. Sistem Religi

Pada umumnya suku Mandar adalah penganut agama Islam yang setia tetapi dalam kehidupan sehari-hari tidak dapat melepaskan diri dari kepercayaan-kepercayaan seperti pemali, larangan-larangan dan perbuatan magis seperti pemakaian jimat dan guru-guru yang baik bersifat baik dan buruk (black magic)29 Daerah Mandar terkenal dengan guna-gunanya. Di samping itu orang-orang Mandar masih mengadakan upacara-upacara untuk pemujaan arwah nenek moyang. 30

8. Ragam Kesenian

Kalau di daerah-daerah lain dikenal dengan tarian-tarian khusus, maka di Mandar dikenal juga tarian seperti pattu'du. Tarian tersebut berasal dari kerajaan Balanipa Mandar dahulu. Sekarang terkenal pula di daerah Tinambung. Kondo sapata; Mambi, Sumarorong, Pana, Mamasa, Seni rakyat yang juga terkenal ialah kuda Battu'du, yakni menari-nari mengikuti irama musik. Pencak silat, semuannya ini sering dipertunjukkan kalau ada pertunjukan juga kalau ada pesta perkawinan.

Alat musik rakyat :

- Pakkeke,. yaitu suling yang dibuat dari bambu dililit daun lontar, alat musik ini dapat, dijumpai di Tinambung atau Campalagian.

- Gambus

- Rabana

- Kecapi

- Gamelan

- Suling.31 .

Sistim teknologi meliputi :

1. Alat produksi

2. Bambu = semacam bakul

- Keranjang = anyaman yang terbuat dari bambu

2. Alat-alat rumah tangga

a. Alat dapur

- Sipi-sipi (bahasa Mandar) = penyepit api

- Balenga = belanga

- Gusi = tempat beras / tempat air

- Pamuttu = Wajan

- Tappiang = Penampi beras

- Kawali = Wajan dari tanah

- Okkang = Alas periuk dari rotan

- Pegaru bassi = Untuk menggoreng

b. Alat makan.

- rotta = Sendok nasi dari kayu

- Gallas = Gelas

- Pindang = Piring

- Seru = Sendok

- Pattombong ande = tempat nasi

- Okkang = Alas periuk

c. Alat tidur.

- Tappere = Tikar

- Kasur = Kasur

- Pa’disang = Bantal

d. Alat pertanian.

- Sodo = Sabit

- Parrassang = Linggis

- Dakkala = Bajak

3. Alat-alat perburuan.

- Pattado = Jerat

- Bassi / Peratu = Tombak

4. Alat Perikanan

- Jala = jala

- Jala-jala rambang = jala kecil lubangnya

- Parappang = untuk menangkap cakalang dibuat dari bambu

- Bose = dayung

- Lopi = perahu

- Lepa-lepa = sampan

5. Alat peternakan

- Salokko = kurungan ayam

- Kola = kandang

6. Alat kerajinan (pertenunan)

- Panette = alat untuk merapatkan benang

- Panasi = kanji dari pepaya mentah direbus lalu dibusukkan

- Roeng = alat untuk menggulung benang

- Unusan = alat untuk membuat benang

Teknik membuat sarung Mandar

Benang sutera dimasak dengan pewarna dari daun-daunan sesudahnya dimasak, dicuci lagi bersih-bersih, setelah itu barulah digulung dan selanjutnya ditenun. Pada umumnya sarong Mandar warnanya suram, seperti hitam, merah tua, coklat tua.

Hal ini dimungkinkan karena pewarna dimasak bersama-sama dengan benang. Di daerah Bugis tidak demikian halnya, tetapi sarung sutera Bugis mudah luntur asal kena air, sedang sarung Mandar tidak luntur.

7. Alat peperangan

- Gajang = keris

- Doe = tombak

- Kawi = Pisau

- Jambia = badik

8. Alat-alat untuk upacara

- La’lang = Payung

- Lamming = pelaminan hanya digunakan untuk bangsawan

- Cerek = tempat air

- Pambulukang = semacam pipa untuk rokok

- Ti 'uduang = tempat ludah

Alat upacara

- Doe pakka = tombak yang bercabang dua

- Ganrang = gendang

- Gong = gong

- Sia-sia = semacam alat bunyi-bunyian yang dibunyikan kalau upacara mau dimulai.

Tempat upacara

- Baruga = sejenis rumah, dindingnya dari bambu bersilang tempat upacara adat yang lebih besar.

- Battayang = bangunannya lebih kecil

9. Alat-alat distribusi dan transport

- Bendi = dokar (transport darat)

- Lopi = perahu (transport air)

Di Mandar terkenal pembuatan perahu Sande dan Baggo.32 Demikianlah sekilas lintas mengenai adat dan upacara­

upacara di Mandar.

C. Seputar Sejarah Masuknya Islam di Mandar

Masuknya Islam di Mandar tidak dapat dipisahkan dengan masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan. Berdasarkan berita dari Anthony Djohan Effendi Paiva, seorang pedagang Portugis yang berkunjung ke Sulawesi Selatan pada tahun 1543, dapat diketahui bahwa pedagang-pedagang Muslim sudah menginjakkan kakinya di jazirah ini pada akhir abad ke-15. Dalam suratnya kepada Gubernur Portugis di Maluku, Paiva mengatakan antara lain :

“... Saya tiba di siang ketika matahari terbenam, dan raja menyuruh sambut kami di rumah wakilnya tadi, dan mengatakan bahwa besoknya dia akan menjadi Kristen. Lawan saya adalah pendatang Melayu Islam ...dari Semtana (Ujung Tanah), Pao (Pahang) dan Patane (Patani), yang berusaha supaya raja merubah maksudnya, karena'sudahlima puluh tahun lebih mereka datang berdagang di situ... “33

Berdasarkan surat tersebut, maka terasalah bagi Kristen adanya persaingan dengan Islam dalam menanamkan pengaruhnya. Bagi orang Portugis, kenyataan itu dianggap sebagai akibat kelemahan mereka yang tidak mampu mendatangkan pendeta­pendeta untuk mengajarkan agama Kristen kepada penduduk setempat. Hal ini dinyatakan dalam kepustakaan Portugis seperti yang dikutip oleh Arnold dan C.H. Perlas.34

Akan tetapi, perbedaan masuknya Islam ke suatu daerah bukan hanya karena kurangnya sumber otentik yang didapat tetapi juga kaburnya dasar konseptual yang dipakai, berupa percampuran antara datang, berkembang dan tampilnya Islam sebagai kekuatan politik. Hingga saat ini sejarawan di Sulawesi Selatan mengakui bahwa masuknya Islam pertama di Sulawesi Selatan ialah pada tahun 1603 M., yang pertama memeluk Islam ialah Raja Luwu di kampung . Patimang. Setelah memeluk Islam (mengucapkan syahadat) namanya menjadi Sulthan Waliyumidrakhudie. Kemudian atas usul Sultan agar Islam lebih jaya, menganjurkan kepada ketiga' datuk pembawa Islam masing-masing Datuk Sulaiman, Datuk Tunggal dan Datuk Bungsu, agar mendatangi Raja Gowa mengajak masuk Islam. Tangga122 September 1605 M. Raja Tallo', I Malaingkaan Daeng Manyonri dengan gelar Sultan Awwalul Islam, telah memeluk Islam kemudian I Manggarai Daeng. Manra’bia dengan gelar Sultan Aluddin, Raja Gowa juga telah menjadi Muslim.35

Setelah kedua raja tersebut memeluk Islam, maka berduyun­-duyunglah rakyatnya memeluk Islam tanpa paksaan dan intimidasi. Berbeda dengan raja Bone pada mulanya hanya rajanya yang bersedia, tapi rakyatnya tidak. Nanti pada tahun 1611 Raja Bone dan rakyatnya telah masuk Islam setelah melihat perkembangan Islam yang pesat.36

Masuknya Islam37 pertama di Mandar sampai saat ini masih terdapat beberapa pendapat, antara lain :

1. Menurut Lontar Balanipa, masuknya Islam pertama dipelopori oleh Abdurrahim Kamaluddin. la mendarat di pantai Tammangalle Balanipa. Yang pertama memeluk Islam ialah Kanne Cunang Maradia Pallis, kemudian Raja Balanipa IV: Daetta Tommuane alias Kakanna I Pattang.

2. Menurut Lontara Gowa, bahwa masuknya Islam di Mandar dibawa oleh Tuanta Syekh Yusuf (Tuanta Salama). Bahkan seluruh daerah Mandar telah memeluk Islam pada tahun 1608.

3. Menurut salah sebuah surat dari Mekah bahwa masuknya Islam di Sulawesi (Mandar) dibawa oleh Assayyid Adiy dan bergelar Guru Ga'de berasal dari Arab keturunan Malik Ibrahim dari Jawa.38

Berdasarkan ketiga sumber di atas, maka penulis belum dapat mengambil kesimpulan siapakah sebenarnya yang paling mendekati kebenaran. Akan tetapi jika kita hendak menganalisa, maka pendapat pertama dan inilah yang banyak dikenal selama ini, mempunyai banyak kekurangan dari segi penulisan sejarah. Yaitu pertama nama Kamaluddin penyempurna agama, tidak seperti gelaran Raja Tallo disebut Awwalul Islam, karena dialah yang pertama memeluk Islam, sedang Alauddin dianggap dialah yang pertama meninggikan Islam.

Kelemahan yang lain, mengapa keturunan dari Abdurrahim Kamaluddin selama beratus tahun tidak dikenal dan vakum sampai sekarang? Adapun versi kedua tentang Syekh Yusuf, mungkin yang dimaksud di sini ialah Syekh Abdul Manna yang membawa agama Islam pertama ke kerajaan Banggae (Majene) dan diterima oleh Tomatindo di Masigi sekitar tahun 1608. Nama Mara'dia Banggae pertama memeluk Islam ada kuburnya masih terdapat di Mesjid Raya Majene (sekarang), ialah Sukkilan. Sesudah kerajaan Banggae memeluk Islam ia berkunjung ke Kutai dan dihidangkan babi itu tidak dimakan karena telah memeluk lslamKutai baru resmi menerima Islam pada tahun 1610.39

Adapun versi ketiga yang diperkuat pendapat dari Mekah, yaitu Guru Ga'de (Al-Adiy), kuburnya masih didapati di Lambanan (Kecamatan Tinambung) diziarahi oleh orang sebagai yang dianggap keramat. Keistimewaannya mempuyai silsilah yang lengkap sampai tujuh lapis dan mempunyai keturunan yang berkembang, mempunyai perawakan mirip Arab, cucunya yang kedua bernama H. Muhammad Nuh pada abad ke- 18 yang pertama membuka sistim pesantren di Pambusuang dan Campalagian. Penyebaran agama Islam ke daerah Mamuju, Sendana, Pamboang dan Tappalang ia seorang yang bernama Kapuang Jawa dan Sayyid Zakaria. Konon Kapuang Jawa itu adalah anak buah Sunan Bonang yang datang ke Kalimantan kemudian melanjutkan usaha ke Sulawesi (mendarat di Mamuju). Dan Kapuang Jawa itu menurut pendapat beberapa pengamat sejarah, bernama Raden Mas Surya Adilogo. Pengaruh Islam terhadap perkembangan kebudayaan Mandar sudah tentu ada. Namun hal itu dianggap Pengaruh yang hampir sama di setiap daerah yang dimasuki Islam.40

Adapun pengaruh ajaran Islam yang masih terlihat sebahagian sampai sekarang pada kebudayaan Mandar, antara lain :

l. Bidang Pendidikan.

Setelah Daetta Tommuane memeluk Islam terjadilah perubahan di bidang kehidupan masyarakat seperti bidang pendidikan. Dikumpulkan sejumlah 44 orang mukim pemuda remaja dididik menjadi kader-kader Islam. Oleh Raja Balanipa ditetapkan satu keputusan kerajaan yang berbunyi sebagai berikut :

Naiya mukim tannaindo allo, tannaimbui iri’ tandipandengngei, tandi pambulle-bullei, tandipa’ jagai, tandipannangi, Madondong duambongi anna lopai lita, maloli dai do timor tarruppu, maloli naun di wara tarruppu;

Artinya .

Adapun mukim itu tak tertimpa panas teriknya matahari, tak terhembus tiupan angin, tak akan dibebani tugas-tugas dan pikulan yang berat, tak akan dijadikan hamba sahaya. Dan apabila negara dalam keadaan panas, ke timur atau ke barat, mereka tak akan pecah (tak boleh diganggu).

2. Pemerintahan.

Struktur pemerintahan telah mengalami pula perubahan, yaitu dengan menetapkan sorang kali (Kadhi) sebagai Mara'dianna Sara'. Diadakanlah pertandingan membaca al-Qur'an, yaitu siapa yang dapat menguasai al-Qur'an dalam tempo satu bulan itulah juara pertama dan itulah yang menjadi Kali Balanipa I. Yang berhasil adalah seorang keturunan bangsawan yang bernama I Tamerus alias Isinyalala. (ini menurut pendapat M. Darwis' Hamzah), dan beberapa pendapat lain lagi dari para tokoh ' budayawan Mandar lainnya.42

Di dalam struktur politik ditetapkan empat komponen sebagai kemantapan pertahanan nasional pada waktu itu, yaitu :

a. Golongan bangsawan yang disebut Tomawuweng ;

b. Golongan Alim Ulama dan cerdik pandai;

c. Golongan Angkatan Perang ;

d. Golongan pengusaha.43

3. Bidang Keseman

Jika sebelum datangnya Islam, maka upacara tari-tarian yang dikenal dalam kerajaan berfungsi sebagai penyembahan kepada dewa, dengan datangnya Islam, maka seni tari hanya berfungsi sebagai bagian dari adat saja.

Tapi bagi orang yang telah menamatkan al-Qur'an dikenal adanya upacara diarak keliling kampung dengan menaiki saiyang pattudu' (kuda yang pintar menari) sambil diikuti irama rebana, lalu di kanan kirinya kaum muda remaja memperlihatkan kebolehannya berkalinda'da' (bersyair),44

3:1. Masalah perkawinan

Sampai pada saat ini di dalam perkawinan masih terdapat pengaruh ajaran Islam yang sukar ditumbangkan, sekalipun di sana sini masih terdapat sebahagian cara-cara yang tidak rasional dari pengaruh animisme dan Hindu. Yang menonjol adanya pengaruh Islam ialah adanya khutbah (pinangan) sebelum nikah, mangino (bermain-main dan berkejar-kejaran) sesudah akad nikah. Ini pernah dilakukan Nabi dengan Zainab. Penggunaan real (uang Saudi sekarang) di dalam mahar, dan yang bertanggung jawab sesudah nikah adalah kaum lelaki. Ini sesuai firman Allah, yang artinya laki-laki adalah bertanggung jawab terhadap kaum wanita. Syarat-syarat calon suami adalah tamma' topa mangaji (harus tamat: mengaji).45

3.2. Masalah selamatan

Hingga saat ini selamatan masih dilakukan dengan baik oleh masyarakat Mandar. Pesta atau selamatan yang dibenarkan Islam ada tujuh perkawinan, penyunatan, akikah, pindah rumah, bepergian jauh, setelah kembali dari bepergian dan tasyakkur nikmat. Upacara kenduri dalam kematian, adalah pengarah Hindu yang diislamisasikan oleh para muballigh. Pesta-pesta lain seperti Maulid. Mi'raj. Halal bi Hala'la adalah termasud yang tidak merusak: Islam. Adapun selamatan pendirian rumah dengan menggantungkan air di dalam botol, kelapa, pisang pada tiang rumah bukanlah dari ajaran Islam; perlu diberantas.

3.3. Masalah pakaian

Pakaian wanita yang terdiri dari bayu pokko atau pasangan (Semacam baju bodo), masih terasa adanya pengaruh Islam. Yaitu bila melihat baju bodo yang sangat tipis dipakai oleh gadis-gadis remaja dari daerah Bugis/Makassar, ternyata di daerah Mandar, gadis-gadisnya belum berani merubah dari ukuran tebal menjadi tipis. Ini perlu dipertahankan, sebab di samping budaya turun temurun yang telah mendara daging, semangat inipun dijiwai oleh agama yang banyak dianut oleh masyarakat yaitu Islam. Demikian seorang pria dianggap kurang berakhlak jika berhadapan orang tua lalu tidak pakai kopiah atau songkok atau sapu tangan. Bahkan orang yang sudah haji tidak mau meninggalkan songkok Arab yang putih.46

3.4. Dalam ucapan dan nyanyian

Sampai saat ini masyarakat Mandar masih tetap terbiasa dengan ucapan: Bismillah, Alhamdulillah, Insya Allah, Masya Allah, Astagfirullah, Inna Lillah, Assalamu Alaikum, Wassalam, Amin, Mohamma’. Demikian dalam nyanyian dan syair (kalinda’da) betapa banyak yang dapat ditonjolkan adanya pengaruh agama. Salah satu diantaranya :

“Passambayang mo’o dai, Pallima wattu mo’o, iyamo tu’u pebonga di ahera”

Artinya :

“Hendaklah engkau tegakkan shalat, lima waktu selalu sempurna, sebab itulah bekal utama menuju kampung akhirat”.47

3.5. Malu berbuat dosa di muka umum

Siri’ yang telah dikenal oleh semua bangsa di Sulawesi Selatan, mendapat pancaran dari jiwa tauhid, khususnya di daerah Mandar, malu berbuat dosa utamanya di muka umum sangat menonjol. Bagaimanapun jahatnya seseorang pasti memelihara lidahnya agar tidak keseleo, malu melihat orang yang berbuat dosa, malu jika kehormatannya terganggu, malu jika tidak berhasil dalam cita-citanya dan sebagainya.48

Sebelum uraian ini tiba kepada penutup, maka sekali lagi, kami ulangi, bahwa untuk lebih membuktikan betapa agama Islam mempunyai pengaruh yang sangat besar di dalam kebudayaan Mandar, coba diperhatikan dan ditelusuri semua syair-syair Mandar, semua kalinda’da bertemakan nasihat/agama, diperhatikan sebagai berikut :

1. Bismilla urunna elong

Bungasna pau

Salama’ nasang

Inggannana mairangngi

Dengan nama Allah awal nyanyian

Pangkal setiap ucapan

Semoga segenap hadirin

Selamat sentosa bagi yang mendengarkan

2. Manu-manu di Suruga

Saicco’pole boi

Mappettuleang

To sukku’ sambayanna

Burung indah penghuni Syurga

Senantiasa datang mengintai

Mengintai dan memperhatikan

Mereka yang sempurna menegakkan shalat

3. Ahera’ oroang tongan

Lino dindandi tia

Borong to landur

Leppang dipettullungngi

Kampung akhirat tujuan akhir

Dunia hanya pinjaman

Ibarat musafir

Sekedar singgah untuk berteduh

4. Meillong domai ku’bur

Sola sulo’o mai

Oroang ku’bur

Ta’lalo mapattanna

Dunia kubur memberi isyarat

Hendaklah anda siapkan obor

Sebab disana di liang kubur

Gelap gulita tiada taranya

5. Sambayang ditia tu’u

Namaka di pesulo

Kedo macoa

Namaka di pekasor

Sembahyang itulah yang paling baik

Dijadikan obor dalam kegelapan

Karya yang mulia

Bakal yang cocok dijadikan kasur.49

D. Sistem Keberadaan Suku Mandar

Mengawali pembahasan tentang kekerabatan suku Mandar ini, terlebih dahulu penulis ingin melihat nara sumber yang terdiri dari sember Lontar Mandar dan serita dari mulut yang secara estafet berkembang dalam masyarakat dari zaman ke zaman, generasi ke generasi. Kedua nara sumber tersebut secara umum tidaklah jauh berbeda. Perbedaan yang sering kita temukan tidak terlalu prinsipil karena paling-paling nama yang bertukar atau lainnya yang tidak merubah total suatu hakekat peristiwa sejarah di Mandar.

Namun, hemat penulis, tentu ada baiknya kita tampilkan keduanya, untuk jadi bahan kajian generasi Mandar yang berminat meneliti sejarah dan nenek moyangnya. Kedua nara sumber itu masing-masing punya kelemahan dan juga punya unsur yang layak dipercaya, juga masih terlalu mungkin terjadinya kekhilafan di dalam menuliskan menceritakannya. Lebih dari itu, faktor kondisi manusiawi di dalam berbagai kebutuhan dan kepentingannya, baik person maupun kelompok, hingga terjadi hal-hal yang kurang obyektif didalam mengungkapkannya.

Faktor cerita misaknya, mungkin kurang lebih faktor kebenarannya dengan tulisan, karena yang menceritakan dari zaman ke zaman adalah orang-orang yang kebanyakan buta huruf, lugu, dan teramat polos, yang kecil kemungkinan akan memanipulasi peristiwa sejarah yang diterimanya dari pendahulunya. Satu-satunya kelemahan dari sumber cerita ini, kemungkinan banyaknya yang aus dari zaman ke zaman, karena kecil kemungkinan, sekian banyak yang didengar dari pendahulinya, sekian banyak itu pula yang akan diterima oleh pendengarnya. Belum lagi yang salah dengar, salah hipotesis dan sebagainya. Kita ambil contoh misalnya quis keluarga di televisi; hanya beberapa orang saja pelakunya dalam waktu sejenak dan jarak membawa berita sangat pendek, tapi toh hampir tidak pernah ada berita yang pas-pasan tepat sampai pada penerima berita yang paling akhir. Apatah lagi cerita sejarah yang jarak waktu penyampaiannya sangat panjang, manusianya pun sangat banyak, tentu sangat mustahil akan sampai apa adanya secara pas-pasan.

Mengingat hal diatas, maka sumber Lontar (tertulis) tentu lebih terjamin sedikit, asal yang menulis/menyalinnya bersikap obyektif dan jujur. Jadi, mana yang lebih meyakinkan diantara dua nara sumber itu, penulis serahkan pada para pembaca/peneliti kelak. Itulah alasan penulis mengungkap keadaan nara sumber mengawali pembahasan ini.

1. Nenek Moyang Orang Mandar

Menurut sumber cerita rakyat, konon sesudah terjadinya air bah yang memusnahkan seluruh manusia, sisa tujuh manusia yang berhasil hidup pada suatu puncak gunung di sekitar hulu sungai Saddang tersebut anak-beranak, bersaudara, atau masing-masing lain (tidak berfamili), tapi secara kebetulan ketemu dihulu sungai Saddang tersebut, setelah masing-masing berhasil menyelamatkan siri dari amukan air bah. Ketujuh orang tersebut adalah sebagai berikut :

a. Pongkapadang menuju ke Utara menyusur gunung dan tiba/bermukim di Tabulahan (Daerah Pitu Ulunna Salu).

b. Tolombeng Susu menuju ke Timur dan tiba/bermukim di Luwu (Palopo).

c. Tolando Beluwaq menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Bone (Daerah Bugis).

d. Paqdorang juga menuju ke Selatan dan tiba/bermukim di Belau (Belawa).

e. Tolambeq guntuq juga menuju ke Utara dan tiba/bermukim di Lariang (Daerah Mamuju).

f. Sawerigading dan Tanriabeng, pergi berlayar entah ke mana arah perginya.

Menurut data Lontar Mandar (Lontar Pattappingan), juga mengakui adanya tujuh orang laki-laki semua di temukan di hulu sungai Saddang dan ketujuhnya bersaudara kandung, yakni anak dari Tomanurung, Tobisseditalang (laki) kawin dengan Tokombong Dibura (wanita), lahirlah anak :

a. Tobanua Pong (Tobanua Poang = Kampung tua).

b. Ilaso Kepang

c. Ilando Guntuq

d. Usuq Sababang

e. Topaqdorang

f. Pongkapadang

g. Tapalluq.50

Dalam Lontar Balanipa Mandar, juga sepakat bahwa manusian pertama yang berkembang di Mandar, ditemukan di hulu sungai Saddang dan mereka adalah para Tomanurung yang bernama Tobisse Ditallang dan Tokombong Dibura. Perbedaannya dengan Lontar Pattappingan adalah; Tobisse Ditallang perempuan dan Tokombong Dibura laki-laki, juga tidak menentukan bahwa mereka beranak tujuh orang. Jelasnya adalah sebagai berikut :

Tokombong Dibura kawin dengan Tobisse Ditallang, lahirlah Tobanua Pong. Tobanua Pong melahirkan Tapaqdorang, Tapaqdorang melahirkan Pongkapadang kawin dengan Sanrabone, lahirlah seorang anak perempuan yang kemudian diperisterikan Topole di Makka. Maka dari perkawinan ini , lahirlah Tometeq-eng Bassi dan Tometeq-eng Bassi kawin dengan sepupunya, lahirlah Daeng Lumalleq. Saeng Lumalleq kawin sepupu lagi, lahirlah sebelas orang anak, sebagai berikut :

a. Daeng Tumana

b. Lamber Susu

c. Daeng Manganaq

d. Sahalima

e. Palao

f. To Andiri

g. Daeng Palulung

h. Todipikung

i. Tolambana

j. Topaniq Bulu

k. Topaliq.51

Dari sumber yang sedikit berbeda ini, sepakat menunjuk Pongkapadang sebagai nenek moyang oranmg Mandar, karena dari padanyalah lahir manusia sebelas bersaudara dan itulah nenek moyang manusia yang berkembang di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binang.

Dari sumber cerita rakyat, ada juga manusia sebelas versi Tabulahan, yang menurut sumber ini, juga anak cucu dari Pongkapadang. Lima orang diantarany ; Daeng Tumana, Daeng Matana, Tammiq, Taajoang dan Sahalima berkembang di Pitu Ulunna Salu dan enam orang diantaranya berkembang di Pitu Ba’bana Binanga, yakni :

a. Daeng Mallulung di Taraqmanu

b. Tolaqbinna di Kalumpang

c. Makkedaeng di Mamuju

d. Tokarabatu di Simaboroq

e. Tambulubassi di Tapalang

f. Tokaiyyang Pudung di Mekkattaq.52

Seminar Sejarah Mandar juga di Tinambung Balanipa Polmas menetapkan bahwa nenek moyang orang Mandar berasal dari Pitu Ulunna Salu, yaitu Pongkapadang.53

2. Kekerabatan orang Mandar dengan kerajaan lain di luar Mandar

Dengan melihat manusia tujuh di Ulu Saddang, jika data Lontar yang mengatakan bahwa manusia tujuh yang ditemukan di hulu sungai Saddang itu bersaudara kandung, maka tidak dapat diragukan lagi, adanya hubungan kekerabatan antara orang Mandar dengan keturunan Tolombeng Susu di Luwu, Tolando beluheq di Bone, Paqdorang di Belau (Belawa), serta keturunan Sawerigading dan Tanriabeng, entah dimana saja berada.

Begitu juga hubungan kekerabatan Mandar debgan Gowa, selain yang terjadi pada dimensi awal munculnya manusia dan perkembangannya di hulu sungai Saddangtersebut, lebih jelas lagi pada saat kawinnya Batara Gowa pada Rerasi putri raja Balanipa-Mandar, yang melahirkan Tomapa’risi Kallonna bersaudara, yang sempat menjadi raja gowa.

Hubungan kekerabatan lain, adalah kawinnya Bannaiq putra raja Sendana-Mandar dengan Karaeng Baine (putri raja gowa) Somba sebagai ibu kota kecamatan Sendana Kabupaten Manjene sekarang, adalah bukti sejarah dari peristiwa perkawinan Bannaiq ini dengan Karaeng Baine dari Gowa ini. Dulu daerah itu bernama Lamboriq, tapi setelah perkawinan itu terjadi, namanya berubah jadi Somba, karena pesan dari mertua Bannaiq waktu Karaeng Baine di bawa pulang ke Senadana, supaya dimana saja daerah itu disamakan dengan nama daerah Karaeng Baine, agar mudah dicari, jika orang tuanya rindu padanya. Karena mereka kawin di Somba sampai sekarang.54 hubungan kekerabatan Mandar dengan Bone pun demikian halnya. Selain dari Talando Beluheq, juga diikuti oleh perkawinan yang lain sesudahnya, baik antara Balanipa dengan Bone, maupun antara Banggae, Pamboang dan Sendana. Satu contoh misalnya; Tomesaraung Bulawang isteri Daeng Palulung raja Sendana yang pertama adalah putri dari Raja Bone. Adik kandung Daeng Marituq Arayang di Sendana (cucu langsung dari Daeng Palulung) yang bernama Daeng Malonaq, juga kawin pada sepupunya di Bone.55

Begitu juga antara Mandar dengan Luwu. Daeng Sirua yang bergelar Puang di Luwu, adik sepupu dari Daeng Palulung yang kawin dengan putri Puatta di Saragiang (Alu), adalah berasal dari Luwu, yang konon keturunanan Tolombeng Susu. Keturunan Daeng Sirua kelak mewarisi kerajaan Alu dan Taramanuq.

Dengan demikian, maka jelas sekali adanya pertalian kekerabatan antara Mandar dengan Gowa, Bone dan Luwu, serta beberapa kerajaan lain di Sulawesi Selatan.

3. Kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga

Secara umum, kekerabatan Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga sudah tidak dapat diragukan, berdasarkan fakta sejarah, bahwa manusia yang berkembang di dua kelompok tersebut adalah Pongkapadang dan keturunannya.

Namun penulis masih merasa perlu melukiskan perkembangan kekerabatan itu pada beberapa kerajaan di Pitu Ba’bana Binanga, hingga lebih jelaslah proses perkembangan kekerabatan tersebut sebagai berikut :

a. Manusia yang berkembang di Balanipa

Seperti yang penulis telah uraikan terdahulu, bahwa Daeng Lumalleq (cucu Pongkapadang) melahirkan sebelas orang anak yang dalam sejarah Mandar dikenal dengan istilah manusia sebelas. Anak ke sebelas diantara manusia sebelas ini adalah Topali. Topali inilah yang kawin dengan Tosimbaqdatu, lahirlah Tobittoeng, Tobittoang yang malahirkan Tomakakaq Napo yang kawin dengan putra Tolemo, lahirlah Weapas yang diperisterikan Puang Digandang, yang melahirkan pula I Manyambungi, raja Balanipa yang pertama.

demikianlah proses keturunan itu berkembang sampai sekarang ini, dimana sesudah I Manyambungi Todilaling ini, lebih meluas dan berkembang pula peraturan kekerabatan antara Balanipa dengan seluruh Mandar.

b. Manusia yang berkembang di Sendana

selain itu Daeng Palulung saudara kandung Topali (anak ke tujuh dari manusia sebelas), juga anak ke enam dari manusia sebelas yaitu Taandiri berkembang pula di Tallangbalao senadana. Tidak lama kemudian, datang pula Inuji Tokearaq alias Tosibaba Adaq di Limboro Ramburambu Sendana dan berkembang pula keturunannya sampai sekarang.

Tosibaba Adaq ini juga adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Begitulah proses perbauran tali-menali kekerabatan diantara tiga sumber keturunan itu di Sendana sampai sekarang, di mana perkembangan lanjutan sesudah ketiga sumber itu jauh lebih meluas, baik diantara Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu, maupun dengan orang di luar Mandar.

c. Manusia yang berkembang di Banggae

semula, Banggae dikenal dengan keturunan Tomakakaq di Salogang (Baruga). Tomamakaq di Salogang ini adalah keturunan manusia sebelas juga, yang turun kepantai bersama-sama dengan Topali dan Tosimbaqdatu. Setelah Tosimbaqdatu dengan putrinya Tobittoeng tinggal di Balanipa, tinggal pula Tomamakaq diSalogang di sebuah bukit di Baruga sekarang dan berkembang di sana.

Lama kelamaan, beralihlah pusat pemerintahan kepantai yang berkedudukan di Salabose. Dari perkembangan ini, lebih mekarlah pertalian kekerabatannya dengan keturunan Tobittoeng di Balanipa dan bahkan dunia luar. Terbukti dengan kawinnya Imerruparupa Bulawang dengan Topolepole (pendatang).

Demikian perkembangan keturunan yang ada di Banggae dengan dunia luar dan antar Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu lebih berkembang luas sampai sekarang.

d. Manusia Yang berkembang di Pamboang

Menurut Binu Aman sejarawan/budayawan Pamboang, Tomellu melluangang yang datang di Pamboang pertama kali itu, adalah orang passokkorang. Namun data Lontar Mandar itu juga menggambarkan bahwa Tomellumelluangang adalah keturunan manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu.56

Yang jelas sumber kedatangannya di Pamboang, adalah Tonisora, raja Pamboang pertama yang datang menyusul Tomellumelluang. Tonisora ini adalah anak dari Tomakakaq di Peurangan, juga keturunan dari manusia sebelas yang berkembang di Pitu Ulunna Salu. Mula-mula Tonisora datang ke Puttaqdaq Sendana dan kawin dengan putri Maraqdia Puttanoeq di Sendana, kemudian orang Pamboang datang memintanya umtuk jadi raja di Pamboang. Berkembanglah Tonisora di Pamboang, di samping keturunan Tomellumelluangang sebagai manusia yang pertama datang di Pamboang.57 Perkembangan keturunan berikutnya, jauh lebih meluas di seluruh daerah Mandar dan juga di luar Mandar sampai sekarang ini.

e. Manusia yang berkembang di Tappalang

Selain Tambulubassi dan pembauran antara keturunan Tandiri dan Tokaiyyang Pudung di Makkatta, juga telah berkembang lebih luas sampai sekarang, terutama dengan Pitu Ba’bana Binanga dan Pitu Ulunna Salu.

f. Manusia yang berkembang di Mamuju

Menurut data Lontar, sebelum kehadiran Makkedaeng, Tokarabatu dan Tolaqbinna, keturunan Talambeq Guntuq yang berasal dari manusia tujuh yang ditemukan di hulu Sungai Saddang, telah berkembang di Mamuju.

Dari sumber cerita rakyat, orang-orang Cina jauh lebih awal telah berkembang di sekitar daerah Mamuju bahagian Utara. Buktinya, nama daerah ini di sebelah Utara Mamuju, memang banyak yang mirip nama/bahasa Cina misalnya; Bakengkeng, Toangsang dan sebagainya. Dengan orang dari luar di Indonesia inipun Mamuju jauh-jauh sudah ada hubungan dan mungkin juga sudah berbaur dalam pertautan kekeluargaan. Hal yang lebih jelas disini, adalah perkawinan putra keraton Mamuju dengan putri Bali.58 Demikian Mamuju berkembang dalam hubungan kekerabatan sampai sekarang ini. Hal yang lebih penting mendapat perhatian untuk jadi bahan kajian bagi generasi kini dan esok tentang Mamuju ini yang erat hubungannya dengan perkembangan manusia, ialah petunjuk Patung Sikendeng yang ditemukan di Mamuju, hingga kalangan arkeolog pusat berkesimpulan sementara bahwa Mamuju adalah daerah tertua di Kawasan Indonesia Timur itu layak dipercaya karena punya satu sejarah.

g. Manusia yang berkembang di Binuang

Data Lontar memberi petunjuk bahwa manusia yang berkembang di Binuang adalah juga dari cucu Tokombong Dibura. Dengan demikian, maka mereka adalah juga salah satu dari manusia sebelas, baik dari versi Tabulahan maupun dari varsi Rantebulahan (Pitu Ulunna Salu).59

Labih lanjut, perkembangan hubungan kekerabatan menyeluruh di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Ba’bana Binanga serta diluar Mandar, telah diurai rinci dan luas oleh H. Saharuddin dalam Bingkisan Budaya Sulawesi Selatan Tahun I-4, Januari, Pebruari, Maret 1978.60 Dalam konferensi Tammajarra II, dalam dialognya dengan raja-raja di Pitu Ba’bana Bianga, Tomeppayung raja Balanipa lebih menjelaskan hubungan kekerabatan itu sebagai berikut :

Malluluareq nasangdi tau mieq inggannana puang, mesadi nene niperruqdussi nisiolai, apaq apponadi Tokombong. Malluluareq nasangditau, apaq sambulo-bulo ditiruqdussi.61

Dengan demikian, maka hubungan kekerabatan di Mandar adalah sangat jelas, bahwa orang Mandar bersumber dari satu keturunan yang sejak awal sudah bersatu karena senasib. Olehnya itu, meskipun sering berbeda pendapat sesamanya, tapi kerukunan hidup tetap terpelihara dan terjamin, karena memang suku Mandar berasal dari satu sumber keturunan.

Adalah beban dan kewajiban kita semua terutama generasi muda Mandar, untuk mewarisi persatuan dan keturunan hidup tersebut, guna kelestarian Mandar tercinta, serta untuk disumbangkan kepada pembangunan bangsa tercinta.

6 comments:

muhammad hariadi said said...

assalamu alaikum. sekiranya bisa pak, tolong kita mengangkat sedikit refrensi mengenai makanan khasna to mandar. trima kasih.
adi,
Mamuju

Firman said...

thanks atas resensi mandar yang jelas

Anonymous said...

Klo hulu sungai saddang,toraja dong. Bgmna dgn mamasa masuk toraja atw mandar

Unknown said...

terima kasih atas resensinya
karena sangat membantu saya dalam penelitian suku mandar yang ada di kalimaantan.

diamond said...

Apakah bs di masa skrg nm daeng diminta oleh org yg sdh cakap ke pengadilan negeri utk penetapan, pdhl tdk ada keturunan dr raja/ kasta kbngsawanan. Trmksh

Arman Husain said...

Asswrb. Saya menemukan ada tiga generasi Pongkapadang yang membawa keturunan di Mamuju,1. adalah Makkedaeng 2. Dg Lumalle 3. Taandari, dari ketiga nenek moyang ini apakah ada yang membawa keturunan secara garis besar dalam berdirinya kerajaan di Mamuju kalau ada dimana saya bisa menemukan sumber referensinya