Oleh :
MUSTARI MULA TAMMAGA
Tanpa bermaksud
mendestruktif hubungan Sulsel dan Sulbar yang terbina cukup harmoni, ternyata
isu pembentukan Sulawesi Barat memang sering menjadi momok tersendiri bagi
(segelintir) elit di Sulsel. Belum cukup setahun provinsi ini didirikan, belum
lepas masa eufhoria rakyat Sulbar menikmati kemerdekaannya, bahkan belum kering
tetesan peluh para pejuang, tiba-tiba undang undang 26 Tahun 2004 digugat dan dinistakan.
Berawal dari statement
Gubernur Sulawesi Selatan HM.Amin Syam yang merasa di lecehkan oleh DPR RI atas
terbitnya Undang Undang 26/2004 tentang pembentukan provinsi Sulawesi Barat
khususnya pada klausul yang secara eksplisit mencantumkan nilai bantuan dan
sanksi jika tidak menaati UU tersebut, lalu kegelisahan ini “dicurahkan” kepada
dua senator anggota dewan perwakilan asal Sulsel HM Aksa Mahmud dan Benyamin
Bura (Kompas,23/11-04).
Seperti diketahui bahwa
dalam UU 26/2004 pasal 15 khususnya ayat (7) di kemukakan bahwa “ Provinsi
Sulawesi Selatan wajib memberikan bantuan dana kepada Privinsi Sulawesi Barat
selama 2 (dua) tahun berturut-turut terhitung sejak diundangkannya Undang
Undang ini paling sedikitsejumlah Rp. 8.000.000,- (delapan miliar rupiah)
setiap tahun anggaran.
Dalam pasal yang sama
ayat (8) ditegaskan bahwa “pemerintah provinsi Sulawesi Selatan paling kurang 2
(dua) tahun berturut turut terhitung sejak diundangkannya Undang Undang ini
wajib mengalokasikan dana dalam anggaran pendapatan dan Belanja Daerah untuk
kegiatan pemerintahan dan pelayanan masyarakat di wilayah provinsi Sulawesi
Barat yang jumlahnya paling sedikit sama dengan alokasi dana sebelum dilakukan
pemekaran.
Selanjutnya dalam
penegasan Undang Undang Nomor 26 Tahun 2004 pasal 15 ayat (7) tentang
pembentukan provinsi Sulawesi Barat disebutkan bahwa “bantuan dana di maksud
pada pasal 15 ayat (7) di salurkan secara bertahap dari kas daerah Provinsi
Sulawesi Selatan ke kas daerah Provinsi Sulawesi Barat setiap triwulan sebagai
berikut : a) Akhir bulan Maret sejumlah
25 % b) Akhir bulan Juni 25 % c) Akhir bilan September sejumlah 25 % dan d)
Akhir bulan November sejumlah 25 %.
Pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan semakin merasa di lecehkan ketika DPR RI mencantumkan ayat (9)
pasal 15 dalam UU tersebut yang isinya menyabutkan sevara tegas sanksi-sanksi
kepada Pemprov Sulsel jika tidak mentaati ayat (7) dan (8) diatas, yakni
“Pemerintah memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran pemberian dana
perimbangan ke kas daerah Provinsi Sulawesi Selatan apabila pemerintah Provinsi
Sulawesi Selatan tidak melaksanakan ketentuan ayat (7) dan ayat (8).
Statement Gubernur Amin
Syam menuai beragam tanggapan, tidak terkecuali HM Aksa Mahmud Anggota DPD asal
Sulsel plus Sulbar sekarang menjadi Wakil ketua MPR RI. Celakanya, pernyataan
Aksa Mahmud justru berada pada posisi yang memarginalkan dan memcederai
aspirasi Orang-Orang Sulbar yang nota bene adalah para konstituen ia
mendukungnya menjadi senator pada pemilu Legislative yang lalu.
Tanpa merasa berdosa ia
mengatakan “pihaknya akan meminta agar DPR RI mengubah UU 26/2004 khusus pada
klausul yang secara Eksplisit mencantumkan tentang bantuan Rp 8 M dan
saksi-saksi terhadap Pemprov Sulsel jika tidak mengindahkan UU tersebut”. Ini
dalah pelecehan, tandasnya” tidak ada UU pembentukan Provinsi di Indonesia ia
menyebutkan secara Eksplisit nilai bantuan Provinsi induk kepada Provinsi baru,
apalagi dengan menyebut saksi bahwa dana Alokasi Umum (DAU) untuk Sulsel akan
dipotong kalau tidak merealisasikanh bantuan sebesar itu. Saya akan mengusulkan
kemendagri agar bias mengubah UU tersebut dan mendagri kemudian menyurat ke DPR
untuk di adakan perubahan.
Pemprov Sulsel
seharusnya tidak merasa dilecehkan karena sejak penyusunan rancangan UU 26/2004
sudah dilibatkan. Mekannismenya jelas dan sangat Procedural. Keinginan politik
(political will) Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Sulawesi Selatan dan
menerbitkan rekopmendasi dalam bentuk surat keputusan Nomor 20 Tahun 2002
Tanggal 18 September 2002 tentang persetujuan usul pembentukan provinsi
Sulawesi Barat adalah bentuk apresiasi yang tinggi terhadap keinginan rakyat
Sulbar.
Yang jssustru melakukan
pelecehan adalah Pemprov Sulsel terhadap aspirasi rakyat Sulbar. Bertahun-tahun
rakyat Sulbar dikebiri dan dijebak dalam tirani mayoritas terhadap minoritas.
Alokasi dana besar Rp 8 M selama dua tahun sebenarnya terlalu minim untuk
sebuah bantuan dari seorang bapak terhadap anak jika di bandingkan
ketidakadilan pemerintahan pembangunan yang dilakukan sulsel selama ini bahkan
Amin Syam sendiri secara legowodan simpatik telah menyatakan kesediaannya untuk
membantu sang anak yang baru lahir ketika memberikan sambutan pada peresmian
Provinsi Sulawesi Barat 16 November 2004 lalu di mamuju. Tetapi kenapa tiba-tiba
merasa dilecehkan. Atau mungkin merasa diatas ingin karena di back up oleh
senator yang sama-sama punya kepentingan terhadap Sulbar.
Sebagai rakyat yang
bijak maka gugatan pemprov sulsel terhadap UU 26/2004 tidak perlu ditanggapi
secara emosional apa lagi akan bertindak prontal. Kiinginan pemprov Sulsel
untuk mengaman demen UU 26/2004 Bukanlah suatu hal yang mudah karena tentu akan
berhadapan dengan rakyat dan harus melalui mekanisme yang jelas yaitu di
usulkan Mendagri lalu mendagri menyusulkan ke DPD RI. Tetapi perlu di ingat
bahwa tidak ada perkara yang sulit di negeri ini apa bila kekuasaan dan uang
yang mengendalikan perkara tersebut. Karena itu perlu di lakukan oleh rakyat
Sulbar khususnya para konstituen pendukun Aksa Mahmud menjadi senator di MPR RI
adalah mendesak Aksa Mahmud untuk tidak bertindak diskriminativ dalam menyikapi
fenomena ini
Betapa sedih dan
sakitnya hati rakyat Sulbar jika Aksa Mahmud secara terang-terangan
memperlihatkan keberpihakannya terhadap kepentingan pemerintah Provinsi Sulawesi
Selatan, apalagi jika aksa Mahmud berinisiatif untuk membantu Pemprov Sulsel
dalam memfasilitisi proses amandemen UU 26/2004. Sementara terpilihnya menjadi
senator di MPR RI bukan hanya mewakili rakyat Sulsel tetapi juga mewekili
rakyat Sulbar. Karena sejatinya aksa terpilih menjadi anggota DPD tidak lepas
dari distribusi kurang lebih 100 ribu Suara para pendukungnya dari rakyat
Mandar yang sekarang lebih memiliki Provinsi sendiri. Ini adalah suatu
keniscayaan yang tidak bisa dipungkiri.
Pucuk di cinta Ulan pun
tiba, Gugatan Amin Syam dan Aksa Mahmud untuk meninjau kembali (judicial
review) UU 26/2004 justru disahuti Oentarto Sindung Mawardi pejabat Gubernur
Sulbar. Menurut mantan Dirjen Otoda Depdagri” ketentuan dalam pasal 15 ayat
(7), (8),(9) UU 26/2004 tidaklah bersifat Absolut tetapi hanya merupakan
peringatan formal (Warning) agar Provinsi induk member perhatian sebagai konsekuensi
persetujuan dari induk. Saya ini berpengalaman dalam penyusunan pemerintahan
daerah baru dan daerah Otonom. Memang ada pernyataan dari induk sanggup
membiayai daerah yang baru terbentuk tetapi dalam pelaksanaannya kadang kala
berbeda dengan realitas”
Pernyataan senada di
kemukakan Ibnu Munsir mantang anggota Komisi VI DPR RI dan Ketua Pansus
Pembentuk Sulbar “ Banyak Kelurahan dari daerah-daerah yang di mekarkan
terlebih dahulu baik provinsi maupun kabupaten/kota selalu mengelu karenadaerah
induk setengah hati member bantuan. Karena itu UU 26/2004 Tentang pembentukan
Sulbar memang di sengaja didesain agak lain dan berbeda berbeda dengan UU
pemekaran sebelumnya karena berdasarkan pengalaman baik di Depdagri maupun di
DPR RI selalu menerima keluhan dari daerah pemekaran akibatulah daerah induk
yang tidak merealisasikan bantuan seperti yang di amanatkan dalam UU Pemekaran
daerah yang bersangkutan. Atas pangalaman itulah maka Depdagri mencoba
mengakomodir klausul yang secara eksplisitnilai bantuan Sulsel Untuk Sulbar“
(Pedoman Rakyat,25/11-2004)
Agaknya perdebatan
antara sulsel dan Sulbar agak meruning jika elit elit sulsel tidak berbesar
hati melepas anaknya untuk mandiri. Apalah arti uang sebesar Rp 8 miliar untuk
daerah yang baru merangkak tertatih tatih dalam membenahi infrastuktur dan
supratrukturnya. Sebenarnya jumlah nominal tersebut sudah dikurangi dari rencana
semula yang diusulkan dalam RUU 26/2004 yaitu Rp 12 miliar yang dibayar selama
3 (tiga) tahun berturut. Tetapi karena pertimbangan yang sangat logis dan tidak memberatkan provinsi induk maka
jumlah tersebut dikurangi menjadi Rp 8
miliar dan dibayar selama 2 (dua) tahun.
Sejak awal saya memang
skeptis terhadap perilaku elit sulsel mengenai penyikapannya kepada Sulbar. Nyaris
tak satu pun yang berani secara tegas menyatakan dukungannya selama masih ingin
menjaga keutuhan ‘’ piring” agar tidak
retak, kecuali bagi mereka yang “nekat” melawan
tirani kekuasaan, sebagaimana yang diungkapkan oleh salah satu elit
politik partai Golkar Sulsel ketika harus didepak dari Nomor “top” ke “bottom”
dalam daftar calon anggota legislative pada pemilu kemarin karena intens
mengurusi Sulbar. “ini adalah
konsekuensi sebuah perjuangan” ungkapnya. Ironi memang tapi itulah kekuasaan.
Kekuasaan akan menjadi kuat manakala didukung kemampuan untuk melakukan
intervensi dan mengsugesti keinginan orang lain. Akan tetapi jika elit-elit
Sulsel tetap nekat melakukan judicial review terhadap UU 22/2004 maka ini
adalah tindakan pembodohan dan pembohongan terhadap rakyat Sulbar yang perlu
disikapi secara kritis . Hidup Sulbar. (Tulisan ini dimuat pada Harian Pedoman
Rakyat edisi, 28 Nopember 2004)
No comments:
Post a Comment