Wednesday, September 29, 2010

MANDAR DALAM PERSPEKTIF LONTAR MANDAR

Oleh :

A.MUIS MANDRA

I. PENDAHULUAN

Kata atau istilah Mandar dalam lontar Mandar, teramat banyak ditemukan dalam arti dan kepentingan yang berbeda-beda, namun tidaklah semua arti dan kepentingan yang berbeda-beda tersebut masuk kriteria yang dimaksud dalan judul diatas, melainkan yang dimaksud adalah bahagian-bahagian terpenting sehubungan dengan hakekat keberadaan Mandar itu sendiri, terutama apa itu Mandar dan hubungannya dengan kehidupan manusia yang berpredikat orang Mandar.

Menurut Panitia Pelaksana Seminar Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa dalam suratnya pada Penulis, konon ada kehendak dari salah satu tokoh Masyarakat Polmas untuk mengganti nama Kabupaten Polewali Mamasa menjadi Kabupaten Mandar?

Berhubung lahirnya kehendak diataslah yang menjadi cikal bakal dipilihnya judul di atas untuk dibahas dalam suatu seminar sehari, guna mengetahui secara pasti berdasarkan sejarah Mandar, apakah mungkin bisa, layak dan sesuai nama/istilah Mandar dijadikan pengganti nama kabupaten Polewali Mamasa,atau ada nama lain yang lebih layak digunakan untuk jadi nama pengganti Kabupaten Polmas tersebut.

Untuk mendeteksi layak atau tidaknya istilah Mandar tersebutdigunakan sebagai pengganti nama Kabupaten Polmas, kita wajib melihat dengan teliti, seksama dan penuh pengertian secara logika berdasarkan kejujuran intelektual tentang existensi dan keadaan logis keduanya, yakni Mandar dan Polewali Mamasa.

Berikut ini Penulis akan berusaha sebatas kemampuan, teramat minim yang penulis miliki, untuk membahas Mandar dalam pandangan budaya Mandar agar jelas bagi kita tentang layak tidaknya istilah Mandar dijadikan nama pengganti Kabupaten Polmas, sebagai berikut :

Sebelum penulis berusaha membahas tentang Mandar dalam pengertian Lontar/Budaya Mandar dan lepas dari layak atau tidak layak istilah Mandar dijadikan pengganti nama Kabupaten Polmas, terlebih dahulu Penulis mengemukakan pendapat pribadi Penulis sehubungan dengan kehendak menggunakan kata/istilah Mandar menjadi nama Kabupaten Polmas, sebagai berikut :

Kehendak ini harus dibicarakan lebih dahulu sesuai dengan prosedur berdasarkan tradisi budaya Mandar, yakni wajib dibicarakan melalui seminar atau kongres yang dihadiri oleh seluruh Mandar yang wilayahnya bekas seluruh Kerajaan di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Bagbana Binanga, ditambah bekas kerajaan di Tiparittiqna Ukai yakni bekas kerajaan Alu, Taramanuq dan Tuqbi, karena menurut fakta sejarah, disinyalir, penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi di seluruh wilayah Mandar, dimulai dalam Allamungang Batu di Lujo atau lebih lazim dikenal dengan istilah Sipamandaq di Lujo.

Menurut Penulis, lepas dari boleh atau tidak, layak atau tidak layak, namun apapun yang diputuskan dalam pertemuan seluruh Mandar tersebut, selalu absah dan sah untuk dilakukan di dalam wilayah Mandar.

II. PEMBAHASAN

A. Keberadaan Mandar

Dengan memahami logika sejarah Mandar, kita tak mampu mengingkari, bahwa Mandar tak lebih dari nama/istilah kesatuan Suku dan Budaya untuk seluruh rakyat yang mendiami wilayah Mandar. Itu sebabnya sepanjang sejarah sama sekali tidak pernah ada Kerajaan Mandar yang rajanya disebut Raja Mandar dan menguasai seluruh Mandar. Yang pernah ada di Zaman tradisional adalah raja-raja di Mandar yang jumlahnya empat belas, yakni Kerajaan Tabulahang, Kerajaan Rantebulahang, Kerajaan Aralle, Kerajaan Mambi, Kerajaan Matangnga, Kerajaan Tabang, dan Kerajaan Bambang dikelompok Pitu Ulunna Salu, Berikut Kerajaan Balanipa, Kerajaan Sendana, Kerajaan Banggae, Kerajaan Pamboang, Kerajaan Tappalang, Kerajaan Mamuju, dan Kerajaan Benuang dikelompok Pitu Babaqna Binanga, yang masing-masing berkuasa/berdaulat penuh di dalam kerajaannya dan mempunyai derajat yang sama di antara kerajaan-kerajaan tersebut.

B. Letak Geografis Mandar

Wilayah Mandar terletak di ujung utara Sulawesi Selatan tepatnya di Sulawesi Barat dengan letak geografis antara 1o-3o Lintang Selatan dan antara 118o-119o Bujur Timur.

C. Luas Wilayah Mandar

Luas wilayah Mandar adalah 23.539,40 Km2, terurai dengan :

1. Luas Kab.Mamuju dan Mamuju Utara : 11.622.40 Km2

2. Luas Kabupaten Majene : 1.932.00 Km2

3. Luas Kabupaten Polewali Mamasa : 9.985.00 Km2

Jadi luas Kabupaten Polewali sendiri : 9.985.00 Km2

Dikurangi luas Kabupaten Mamasa sekarang : Km2

D. Batas-Batas Wilayah Mandar :

Semula dari saman dahulu kala, minimum di zaman Penjanjian atau Allamungang Batu di Lujo, batas-batas wilayah Mandar adalah :

- Sebelah Utara dengan Lalombi, wilayah Sulawesi Tengah

- Sebelah Timur dengan Kabupaten Poso, Kabupaten Luwu dan Kabupaten Tanah Toraja

- Sebelah Selatan dengan Binanga Karaeng, Kabupaten Pinrang

- Sebelah Barat dengan Selat Makassar

Kini batas Mandar di Utara berubah jadi Suremana, yang berarti kita kehilangan wilayah lebih sepuluh kilometer, dan juga kehilangan lebih sepuluh kilometer di Selatan, karena batas wilayah Mandar di Selatan sekarang sudah bukan Binanga Karaeng, tapi Paku.

E. Mandar Dalam Beberapa Perjanjian Internal Mandar :

Sebelum Mandar secara resmi memakai istilah Mandar, leluhur Mandar tampil dengan dua predikat yang baku dan umum disepakati oleh leluhur di Mandar, yakni dua predikat kelompok yaitu kelompok kerajaan di daerah pegunungan yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Ulunna Salu (tujuh kerajaan di hulu sungai) dan kelompok kerajaan yang terletak di muara sungai, yang lazim dikenal dengan istilah Pitu Baqbana Binanga (tujuh kerajaan di muara sungai), mereka leluhur Mandar menggunakan istilah “Hulu” dan “Muara” sungai, perlambang jalinan persatuan antara dua kelompok itu teramat erat yang tidak mungkin bisa dipisahkan, laksana satu sungai yang hanya bisa dipilih antara Hulu dengan Muara. Antara lain perjanjianyang bertujuan kesepakatan bulat demi untuk hidup bersatu, seiya sekata, senasib dan sepenanggungan antara dua kelompok, ialah :

1. Perjanjian Rantebulahang :

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Kerajaan Rantebulahang mewakili Pitu Ulunna Salu dan Kerajaan Balanipa mewakili Pitu Baqbana Binganga. Tujuannya untuk memperkecil perbedaan pendapat, guna menjalin persatuan dan kesatuan.

2. Perjanjian Malundaq :

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya untuk menyelesaikan masalah Lalilakang Tallu di Malundaq dan Lante Samballa di Taang.

3. Passullurang Basi di Lakahang :

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu dan Pitu Babaqna Binanga. Tujuannya ialah masalah orang Passokkorang sebagai rampasan perang di Mandar dan masalah tiga perempat dari daerah Palilinq Massedan menghadap ke Pitu Ulunna Salu dan seperempatnya menhadap ke Pitu Babaqna Binanga.

4.Perjanjian Sungkiq :

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, kakaruanna Tiparittiqna uhai dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya menjadikan daerah paliliq massedan menjadi kakaruanna Tiparittiqna Uhai, sehingga waktu itu terjadi istilah Pitu Ulunna Salu, Kakaruanna Tiparittiqna Uhai, Pitu Baqbana Binanga.

5.Perjanjian Dama-damaq :

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad XVIII Masehi, antara Pitu Ulunna Salu, daerah paliliq Massedan dan Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya pembebasan daerah paliliq Massedan untuk memakai hukumannya sendiri didalam daerahnya.

6. Allamungang Batu di Luyo (Sipamandaq di Lujo) :

Transliterasi :

a. Taqlemi manurunna peneneang uppasambulobulo anaq, appona di Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga, nasaqbi Dewata Diaya dewata diang, Dewata dikanang Dewata dikairi, Dewata diolo Dewata diboeq, menjarimi passemandarang.

b. Tannisapaq tanniatonang, maq allonang mesa mallatte samballa, siluang sambusambu sirondong langiqlangiq, tassipande peogdong tassipadundu pelango, tassipelei dipanraq tassialuppei diapiangang.

c. Sipatuppu diadaq sipalete dirapang, adaq tuho di Pitu Ulunna Salu, Adaq Mate di Muane adaqna Pitu Baqbana Binanga.

d. Saputangang di Pitu Ulunna Salu, Simbolong di Pitu Baqbana Binanga.

e. Pitu Ulunna Salu memata di Sawa, Pitu Baqbana Binanga memata di Mangiwang.

f. Sisaraqpai mato malotong anna mata mapute, anna sisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga.

g. Moaq diang tomangipi mangidang mambattangang tommutomuane, namappasisaraq Pitu Ulunna Salu Pitu Baqbana Binanga, sirumungngii anna musesseqi, passungi anaqna anna muanusangi sau di uwai temmembaliq.

Terjemahan :

a. Sudah terfakta kesaktian leluhur moyang menyatu bulatkan anak cucunya di Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga, diatas kesaksian Dewata (Tuhan) diatas Dewata dibawah, Dewata di kanan Dewata di kiri, Dewata dimuka Dewata di belakang, lahirlah persatuan seluruh Mandar.

b. Tak berpetak tak berpembatas, bersatu bantal bertikar selembar, sepembalut tubuh selangit-langit, saling tidak memberi makanan yang menyebabkan bisa tertulang, saling tidak memberi minuman yang memabukkan atau beracun, saling tidak meninggalkan dikesusahan, saling tidak melupakan pada kebaikan.

c. Saling menghormati hukum dan peraturan masing-masing, Hukum hidup di Pitu Ulunna Salu, Hukum mati disuami adatnya Pitu Baqbana Binanga (Kerajaan Balanipa).

d. Destar (ikat kepala) di Pitu Ulunna Salu, Sanggul di Pitu Baqbana Binanga.

e. Pitu Ulunna Salu menjaga Ular (musuh dari darat), Pitu Baqbana Binanga menjaga Hiu (musuh dari laut).

f. Nanti berpisah mata hitam dengan mata putih, baru juga bisa berpisah Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga.

g. Barang siapa yang mimpi mengidamkan seorang anak laki-laki yang bakal memisahkan Pitu Ulunna Salu dengan Pitu Baqbana Binanga, bersepakatlah untuk segera membedah perut yang hamil itu, lalu keluarkan ubang bayi laki-laki itu, kemudian hanyutkanlah ke air yang tidak mungkin kembali lagi.

Perjanjian ini terjadi kira-kira abad ke XVIII/XIX masehi antara leluhur Mandar yang mendiami daerah Pitu Ulunna Salu dan daerah Pitu Baqbana Binanga. Tujuannya kesepakatan bulat untuk secara resmi menggunakan Mandar sebagai nama kesatuan suku dan budaya dan kesepakatan mengakui bahwa Mandar adalah wilayah yang tercakup di daerah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga. Mulai saat itu leluhur orang Mandar mengakui penggunaan istilah Mandar secara formal dan resmi sebagai nama kesatuan suku dan budaya seluruh rakyat yang mendiami wilayah tertentu yang diberi nama Mandar.

Maka berdasarkan Sipamandaq di Lujo ini, lahirlah :

- Mandar yang mempunyai wilayah tertentu dengan letak geografis dan batas-batas tertentu.

- Mandar yang mempunyai rakyat tertentu yang di sebut suku Mandar.

- Mandar sebagai satu diantara empat etnis di Sulawesi Selatan.

- Mandar dengan budaya spesifik yang dikenal dengan budaya Mandar.

Dengan demikian, maka Mandar tidak bisa dijadikan nama salah satu kabupaten di Mandar, karena akan bertentangan dengan syarat-syarat yang dimiliki oleh Mandar, baik Mandar sebagai nama kesatuan suku budaya, maupun syarat-syarat lain seperti letak geografis, luas wilayah dan rakyat yang masuk criteria rakyat Mandar.

Kwalitas kemandaran diantara empat belas kerajaan yang ada di Mandar semua sama, yang olehnya tidak ada satu kerajaan yang bisa mengklaim nama Mandar untuk dipakai sendiri, karena Mandar adalah milik bersama empat belas bekas kerajaan di Mandar.

Kecuali apabila diadakan lagi pertemuan seluruh Mandar dan di bicarakan bersama lalu dicapai kesepakatan untuk mengisinkan salah satu bekas kerajaan di Mandar untuk memakainya, penulis rasa ini tidak ada masalah.

7. Usulan nama Alternatif :

Suatu ketika pernah penulis dipanggil alm. Haji Abdul Malik Pettana Iyendeng ke rumah beliau di Tinambung semasa beliau masih hidup, untuk berbincang mengenai pemekaran Daerah Kabupaten di seluruh Mandar menjelang lahiranya Sulbar, waktu itu penulis mengusulkan pemekaran Kabupaten Polmas menjadi tiga Kabupaten yakni :

- Kabupaten Pitu Ulunna Salu (PUS)

- Kabupaten BalBen (Balanipa Benuang)

- Kota Madiya Mandar dengan Ibu kota Tinambung, meliputi Kecamatan Campalagian dan Kecamatan Tinambung.

Dengan usul Penulis seperti diatas, penulis sangat terkejut karena selama penulis hidup sama-sama dengan beliau, baru kali itu Penulia lihat spontan beliau marah pada penulis katanya : Kau mau merusak Mandar sebagai kebanggaan satu-satunya bagi rakyat Mandar ?. mandar tidak bisa dipermak lagi, karena kapan hilang salah satu syaratnya ia tidak akan menjadi Mandar lagi, Penulis beralasan ; demi mengabadikan nama Mandar, lalu spontan beliau jawab masih dalam keadaan kelihatan marah, “Apa kamu tidak anggap Mandar cukup abadi dengan nama Suku dan Budaya Mandar ? Di Sulawesi Selatan bahkan diseluruh nusantara sangat dikenal Budaya Mandar dan Suku Mandar, apa lagi yang kau mau ? Penulis Cuma tertunduk diam saat itu. Beliau Cuma menginginkan nama “Kabupaten Balanipa, atau digabungdengan Benuang menjadi Kabupaten BalBen. Penulis menawarkan ; Kabupaten Balben (Kabupaten Balanipa Benuang), atau Kabupaten Tamajarra, atau Kabupaten Balanipa saja seperti yang beliau alm. Haji. Abdul Malik kehendaki (Lihat Foto copy rencana pemekaran beliau terlampir).

III. PENUTUP

A. Kesimpulan :

1. Mandar adalah nama kesatuan Suku dan Budaya, bukan nama suatu kerajaan, atau lain-lainnya

2. Mandar adalah nama Suku dan Budaya orang-orang yang mendiami wilayah Pitu Ulunna Salu dan Pitu Baqbana Binanga.

3. Mandar sudah ada jejak berabad-abad lalu, tapi dimulai pemakaiannya secara resmi sebagai simbol persatuan bagi seluruh rumpun Mandar,sejak Allamungang batu di Lujo.

4. Mandar adalah milik bersama secara berimbang tanpa perbedaan derajat di anatara empat belas bekas kerajaan di Mandar yang mendiami wilayah Pitu Ulunna Salu, Pitu Baqbana Binanga dengan luas dan batas-batas tertentu.

5. Karena Mandar adalah milik bersama empat belas Kerajaan di Mandar, maka tidak ada satupun bekas kerajaan di Mandar yang bisa memakai sendiri istilah Mandar, tanpa persetujuan empat belas bekas kerajaan Mandar.

B. Saran-Saran :

1. Supaya seluruh orang Mandar berteguh dan konsekuen menjadikan Mandar sebagai lambang Persatuan murni di seluruh etnis Mandar.

2. Untuk lebih mempertebal rasa kemandaran, supaya Budaya Mandar digali, dikembangkan, diamalkan, dilestarikan dan diwariskan kepada generasi Mandar di seluruh wilayah Mandar.

3. Supaya seluruh Suku Mandar yang mengaku Berbudaya Mandar, sama-sama memelihara keutuhan Mandar sebagai lambang persatuan dan kesatuan di seluruh Mandar.

4. Supaya amanah Allumungang Batu di Lujo sebagai kearifan dan Amanah leluhur Mandar, kita terima sebagai warisan leluhur Mandar yang paling berharga untuk sama-sama dipegang teguh untuk memelihara keutuhan Mandar.

5. Diusulkan nama Kabupaten BalBen (Balanipa-Benuang) untuk jadi pengganti nama Polewali-Mamasa.

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar)

SEBUAH REFLEKSI KRITIS TENTANG MANDAR


Oleh :

Ishak Ngeljaratan

1. Yang Ringan dan Menarik

1.1 Masalah nama

Jika ada orang yang ditanya, “dari mana?” Dia mungkin menjawab, “dari Mandar” Jawaban yang demikian biasanya lanjut disusul dengan pertanyaan, “Mandar mana. Majene atau Polewali.” Yang ditanya akhirnya bisa menjawab secara pasti. “dari Polewali” atau “dari Majene” Dapat disimpulkan bahwa Mandar secara geografis tidak sebatas dengan wilayah keresidenan (Kabupaten) Polewali atau Majene, atau mungkin tidak sebatas kedua wilayah ini secara simultan, melainkan seluas wilayah yang diperjuangkan menjadi Provinsi Sulawesi Barat (Provinsi Sulbar). Dengan kata lain, dalam konteks geografis dan bukan konteks kultural, istilah Mandar mencakup seluruh wilayah sulbar. Mungkin juga bisa diterima bahwa secara kultural dan terbatas, Mandar mencakup masyarakat Polewali, Majene, dan Mamuju. Jadi ada Mandar Polewali, ada Mandar Majene, dan ada Mandar Mamuju. Karena itu, Mandar, dalam Konteks Kultural, lebih sempit dari pada mandar dalam jangkauan makna geografis. Dalam konteks geografis, Provinsi Sulbar tidak hanya dihuni oleh masyarakat Mandar Polewali, Mandar Majene, dan masyarakat Mandar Mamuju, melainkan juga oleh masyarakat suku Toraja di Kabupaten Mamasa.

1.2 Fama dan Stigma

Orang luar Sulsel pada umumnya sudah mengenal Mandar dalam bingkai yang prestisious atau famous (fama = nama tenar karena baik) dalam kaitan dengan ungkapan-ungkapan seperti “Sarung Mandar,” “minyak goreng Mandar,” dan “Pisang Mandar.” Tempo doeloe, yang disebut sarung Mandar yang dicari-cari pembeli pastilah bermutu, baik dari segi kainnya, maupun dari segi tata warna khas yang anti-luntur. Sarung Mandar menjadi primadona bagi pasar kain sarung di seluruh nusantara. Namun, penjiplakan nama sarung Mandar dan pengatasnamaan jenis sarung ini demi laris di mata pembeli akhirnya melunturkan posisi sang primadona.

Tempo doloe, sebelum meluasnya pemasaran minyak goreng (Kelapa Sawit) asal fabrik dengan berbagai trade mark dan kemasan, minyak goreng Mandar yang paling digemari karena hasil olahan dalam suhu tinggi yang lama, juga karena aromanya yang merangsang nafsu makan. Selain itu, pisang Mandar yang dijual di pasar adalah pisang yang memang sudah tua atau bahkan sudah masak di pohon dan bukan pisang muda yang dikarbit sehingga tampak tua dan menarik.

Mandar juga sangat dikenal, terutama dalam kaitan dengan obat-obatan tradisional masyarakat Sulsel. Namun, Mandar dalam stigma tertentu dikenal oleh masyarakat sebagai salah satu pusat pengobatan black magic yang amat ditakuti karena tinggi khasiat dan mujarabnya. Pelembekan kepala terhadap lawan yang ingin disengsarakan atau jenis black magic yang lain (di samping adanya white magic yang menjadi lawan terhadap black magic) menjadi cerita yang lazim terdengar.

2. Sistem Nilai Budaya dan Seni

2.1 Nilai Budaya

Pada suatu saat Baharuddin Lopa ditanya, “mengapa menurut pendapat atau penilaian banyak orang. Pak Lopa adalah tokoh yang jujur dan berani. Almarhum Baharuddin Lopa menjawab, andaikan pertanyaan mereka itu benar, maka mungkin saya jujur dan berani justru karena saya ini orang Mandar, ketika hal ini ditanyakan kepada penyair nasional asal Mandar, Husni Djamaluddin, pernyataan Lopa itu dibenarkannya. Apa yang dia ucapkan, dia sudah lakukan. Satunya kata dengan perbuatan adalah nilai utama masyarakat Mandar yang dapat disampaikan dengan “lempu” (makna yang mencakup nilai kelurusan, kejujuran, keadilan, dan keikhlasan).

Hanya orang yang jujurlah yang dapat memelihara sifat berani, kesatrian, keteguhan pendirian, dan kekayaan nama baik. Jika seorang terus-menerus jujur dan adil di dalam mencari nafkah, di dalam berpolitik, di dalam bergaul, di dalam beragama, dan di dalam segala jenis kegiatan, maka orang demikian secara kumulatif akan berhasil membangun citra dirinya sebagai orang yang bermartabat dalam arti punya kemuliaan dan kehormatan sebagai manusia yang diciptakan sesuai dengan “divine image” atau citra Iiahi. Hanya bermartabatlah benar-benar”atau” atau manusia yang punya “siri” Dengan kata lain, orang yang punya “siri” adalah manusia sejati yang punya kehormatan dan kemuliaan sebagai akibat aktualisasi “lempu” dalam seluruh proses hidupnya.

Tidak cukup atau tidak memadai dan bahkan terancam martabat atau harga diri seseorang sebagai manusiajika siri-nya tak bisa dipertahankan dan dipelihara serta kualitasnya gagal ditingkatkan.”siri” seseorang hanya bisa terjaga dan terangkat kualitasnya, jika keutamaan yang dimilikinya diabdikan juga bagi orang lain berdasarkan “pacce” Sikap kepedulian tinggi pada nasib orang lain dibuktikan dengan mengabdikan kekayaan, kepandaian, kesalehan, dan kelebihan lain yang dimilikinya untuk memperbaiki nasib orang lain, terutama nasib mereka yang lemah, teraniaya, dan ditinggalkan. “Sipakatao” dan “Sipakalebbi” adalah contoh sikap dan perbuatan yang dapat menjaga dan bahkan dapat meningkatkan kualitas siri. Semakin memberi kelebihannya bagi orang lain, semakin tinggilah kehormatan dan kemuliaan (siri) seseorang sebagai manusia dan hamba Allah di bumi.

“Lempu, siri-na-pace” harus ditopang oleh penggeledahan diri secara terus-menerus untuk mendeteksi pelanggaran yang mungkin telah dilakukan terhadap “lempu” dan terhadap “siri-na-pacce.” Pelanggaran terhadap nilai “lempu” harus disadari sebagai “rasa bersalah” yang menuntut pemulihan terhadap “lempu” melalui penyesalan dan pertobatan. Pelanggaran inilah yang mengamcam siri seseorang yang akhirnya menyebabkan sesorang itu bukan saja merasa bersalah sehingga ingin bertobat.melain kan juga merasa malu. Dia merasa malu karena merasa bersalah setelah tidak berlaku jujur dan adil. Namun, dia juga akan merasa malu karena sudah tidak berbuat kebaikan bagi orang lain yang membutuhkannya. Seorang ,yang punya “siri” sebagai akibat dari akumulasi perbuatan baik yang “lempu,” akan merasa malu jika tidak berbuat baik kepada orang lain. Dia akan merasa malu memamerkan kemewahan di tengah orang miskin. Dia akan merasa malu karena pandai sendiri di tengah masyarakat yang bodoh, juga malu jika salah sendiri di tengah masyarakat yang hidup ternista dan terhina dekadensi moral yang dialaminya. Perasaan prihatin dan peduli demikian bersendi pada rasa “pacce”. Pada akhirnya, seorang yang merasa bersalah dan merasa malu akan juga merasa takut jika berbuat salah dan melanggar rasa malu. Rasa takut inilah yang memagari seorang untuk tidak berbuat sesuatu yang melanggar “lempu, siri, dan pacce”. Nilai budaya “lempu” dan “siri-na-pacce” dapat dinyatakan sebagai inti nilai dengan istilah yang berbeda-beda menurut bahasa komunitas etnis di Sulsel. Nilai “tiga utama” ini ditopang oleh tiga nilai penopang, yaitu “rasa bersalah, rasa malu, dan rasa takut” yang ditegakkan oleh setiap pelaku budaya Mandar (Sulsel) secara kreatif –dinamis , konsekuan, dan konsisten. Ketig nilai “Lempu, siri-na-pacce” sebagai satu unit sistem nilai kultur sangat nyekrup dengan nilai-nilai ajaran agama Langit (Yahudi,Nasrani, Islam). Seorang pelaku budaya Mandar dapat terus-menerus mengaktualisasi ajaran agama dan budaya secara saling menunjang. Lambat laun, nilai-nilai budaya akan larut di dalam nilai ajaran agama (Islam) sehingga nilai budaya dan islam tidak bagaikan minyak dan air, melainkan bagaikan gula dan yang menyatu.

2.2 Seni

Tanpa hasil penelitian mendalam dan meluas atau tanpa membaca serta menyimak seluruh hasil penelitian tentang seni dan budaya Mandar, mustahil dapat dilahirkan karya tulis yang memadai. Namun, dalam batas makala pengantar diskusi atau makala pemicu, catatan ini diharapkan dapat diterima sebagai umpan pancingan untuk memancing hal-hal lain dalam kaitan dengan tema pertemuan. Beberapa cabang seni Mandar dapat dikemukakan disini hanya semata-mata sebagai sample dari sekian banyaknya jenis seni milik masyarakat secara turun-temurun. Masihkah masyarakat Mandar ingin menghiduokan kembali nilai-nilai utama, yang tetap relevan menembus saman dengan berbagai tantangan baru, sebelum di berdayakan. Tanpa budaya yang sudah berdaya, mustahil bisa diberdayakan. Buadaya tanpa daya tak bisa di berdayakan. Lebih parah lagi budaya yang belum berdaya hendak di berdayakan oleh manusia yang tercabut dari akar budayanya sendiri atau oleh masyarakat yang kurang secara kultural.

(a) Musik dan Lagu

Irama musik dalam lagu-lagu mandar secara spesifik mencerminkan setting laut. Deburan ombak, riak gelombang yang dinamis, hempasan ombak dipantai dan geliat ombak gelombang yang diterbangin angin lembut atau badai bisa dirasakan pada melodi laut di dalam lagu-lagu Mandar yang cenderung eksotik, romantis, dan sentimentil. Lagu-lagu Mandar sering dan selincah lagu-lagu Maluku, namun sekaligus selembut irama agraris lagu-lagu Bugis meski tidak sedinamis lagu-lagu Makassar yang terkesan agak cepat dan kekurangan kelembutan. Bandingkan lagu “Tengga Tengga Lopi” dengan “Baturate Maribulang”.

Jika terdengar lagu “Tengga Tengga Lopi”terkesan suasana kelautan dan kebebasan orang Mandar, bukan saja sebagai pelaut dengan perahu “Lopi” –nya yang digunakan untuk menjinakkan samudera dan mengembara ke segala penjuru, melainkan juga mengungkap gaya kebebasan hidup orang Mandar yang pantang dibelenggu. Selain Perahu Lopi, Parahu Sandeq pun. Dalam ukuran yang jauh lebih kecildaripada Lopi digunakan secara luas oleh warga masyarakat untuk mencari nafkah dan mengangkut barang kebutuhan sehari-hari dari pulau ke pulau atau laut ke pantai dan desa. Perahu Sandeq pernah di pamerkan di Paris, Perancis 1997 dan bahkan di jadikan Maskot Pameran Bahari 1997 selam 11 bulan di Paris.

(b) Sastra

Masyarakat Mandar pun kaya dalam kehidupan bersastra, terutama sastra jenis pantun, kalindaqda. Bentuk sastra ini bersampiran dan berisi. Sama dengan elong Bugis, Kalindada juga terdiri atas 8-8-4-8 suku kata dalam selarik di dalam sebaik yang terdiri atas larik. Jika dilagukan, maka larik ketiga yang hanya terdiri atas 4 suku kata biasa ditambah dengan bunyi penyedap (aule/kodong dsb) sehingga bentuknya menjadi 8-8-8-8. Selain keindahan struktur, makna yang disampaikan juga bermacam. Ada yang religius, sosial kemasyarakatan, cinta, adat istiadat, terutama dalam ritual perkawinan. Banyak nilai moral yang dikemas didalam Kalindaqda meski sering karena ketrebukaan watak orang Mandar, maka ekspresi Kalindaqda pun cenderung mendetail (terinci) atau dalam bentuk bahasa telanjang sehingga secara implekatif dapat mengundang sekian banyak tafsir, termasuk tafsir yang miring. Tafsir yang menganggap bahasa telanjang sebagai sesuatu yang bermuatan pornografi.

(c) Seni Tari

Tari-tarian mandar sebagaimana tari lain di daerah Sulsel pada mulanya berawal dari istana. Namun, tari-tarian yang difungsikan sebagai bagian ritual dari kerajaan akhirnya menjadi tari rakyat yang bukan hanya bertujuan memberikan rasa hormat pada raja sebagai representasi dari dewata, melainkan menjadi tari rakyat yang memberi hiburan yang sehat.

Tari “Patadu” menampakkan suasana langit-bumi yang menyatu dalam gerak kaki para penari yang tak terlepas dari bumi, dan pada saat yang sama pasangan tangan mereka menari-nari bukan tanpa kebebasan, namun kebebasan dengan kendali nilai budaya oleh gerakan yang menandakan adanya aturan yang harus ditaati. Musik yang menggebu-gebu tak mampu memancing emosi para penari untuk ikut-ikutan bergoyang menurut irama gendang. Para penari terkesan menari secara lemah lembut menantang iramagendang yang penuh dengan geliat yang dinamis. Hal yang sama bisa ditemukan pada tari “Pakarena” di dalam seni tari Bugis-Makassar.

2. Konteks Politik Masa Kini

3.1 Mandar dan Sulbar

Selam dua tahun terakhir, sangat kencang terdengar tuntutan pemekaran Provinsi Sulsel menjadi sejumlah provinsi. Tuntutan awal yang sangat menonjol terhadap berdirinya provinsi baru dengan nama Provinsi Sulawesi Barat atau Provinsi Sulbar dicetuskan oleh masyarakat Mandar. Berdirinya Sulbar sebagai provinsi baru menuntut pemekaran kabupaten sebagai prerequisite yang harus dipenuhi sesuai dengan undang-undang. Karena itu, Kabupaten Polewali –Mamasa dimekarkan menjadi Kabupaten Polewali dan Kabupaten Mamasa.

Usul agar kabupaten diubah menjadi Kabupaten Mandar sebaiknya diubah menjadi “KABUPATEN MANDAR POLEWALI” karena kemungkinan masih akan ada Kabupaten (Mandar-)Majene, dan Kabupaten (Mandar-)Mamuju, sedangkan Kabupaten Mamasa tetap saja Kabupaten Mamasa tanpa embel-embel lain seperti Mandar karena mayoritas masyarakat Mamasa termasuk masyarakat Toraja Barat. Bisa saja orang Mamasa yang ingin mengubah nama Kabupaten Mamasa menjadi Kabupaten Toraja Mamasa. Kata Toraja menunjukkan etnis budayanya, sedangkan Mamasa menunjukkan ikatan politik atau ikatan geografis yang menjadi tumpuan bagi institusi pemerintahan didalam wilayah Provinsi Sulbar yang akan dibangun. Karena itu, tak mengherankan bahwa para tokoh pendiri Provinsi Sulbar tidak menjadikan Sulbar Provinsi Mandar seakan-akan Provinsi Sulbar hanya khusus bagi masyarakat Mandar karena Kabupaten Mamasa aadalah juga bagian tak terpisahkan dari Sulbar.

3.2 Faktor Keadilan dan Sentralisme Kekuasaan

Desentralisasi dan Otonomisasi daerah (Otoda) harus diakui adalah sebuah proses yang bertolak belakng dari sentralisasi kekuasaan yang otoriter. Sentralisme kekuasaan dalam tangan penguasa yang otoriter telah menguasai masyarakat nusantara yang majemuk yang hidup di berbagai kepulauan nusantara yang bertaaburan diatas samudra. Mayarakat nusantara mengalami perlakuan yang tidak adil. Jalan keluar dari ketidakadilan adalah desentralisasi kekuasaan dan otonomisasi daerah. Dengan kata lain, otoda adalah anak kandung dari usaha untuk memerangi ketidakadilan dan usaha untuk mengendorkan kuatnya matarantai kekuasaan otoriter yang membelenggu rakyat atau masyarakat nusantara.

Bukan mustahil, lahirnya rencana Provinsi Sulbar adalah juga didasarkan pada reaksi politik terhadap ketidakadilan dan management pemerintahan daerah yang meniru-niru pusat. Kehadiran Provinsi Sulbar diharapkan dapat menjamin penegakan keadilan oleh pemerintah Provinsi (Sulbar) terhadap kabupaten-kabupaten hasil pemekaran.

Kata kunci bagi pengembangan Provinsi Sulbaryang sudah lama ditunggu follow-up hukum/undang-undang dan politiknya adalah “demokrasi, keadilan, dan kemajemukan.” Demokrasi menuntut dihormatinya perbedaan-perbedaan dalam berbagai bidang yang melibatkan masyarakat dengan background multi-ethnic yang saling berbeda. Perbedaan itu akan hadir dan menjadi sesuatu kenyataan hidup yang mempesona jika nilai keadilan justru menjadi kekuatan yang menjamin kerukunan hidup bagi masyarakat yang pluralis.

Catatan Tambahan

Catatan ini masih jauh dari target sebuah tulisan ideal, namun diharapkan bahwa kelanjutan diskusi akan menyempurnakan apa yang belum atau yang tidak diungkap dalam tulisan pendek ini.

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Oleh DPD KNPI Polewali Mandar)

MANDAR DALAM PERSPEKTIF KESEJARAHAN

Oleh:

Edward L. Poelinggomang

(Sumber : Kumpulan Makalah Seminar Sehari Tahap II Menggagas Perubahan Nama Kabupaten Polewali Mamasa Pasca UU 11 2002 Pelaksana : DPD KNPI Polewali Mandar Masa Bakti 2003-2006)

Pengantar

Topik Sejarah Mandar telah menjadi objek penelitian keilmuan dan tajuk pembicaraan dalam berbagai seminar. Meskipun demikian tampak bahwa penggalan-penggalan objek studi dan pembicaraan itu masih belum diramu menjadi karya standar Sejarah Mandar. Itulah sebabnya dalam beberapa makalah seminar masih dijumpai beberapa hal yang belum baku untuk di pahami dan dijadikan dasar berpijak.

Sebagai contoh dapat ditampilkan pengertian Mandar. Dalam makalah dari H. Mochtar Husein (1984) diungkapkan bahwa kata Mandar memiliki tiga arti : (1) Mandar berasal dari konsep Sipamandar yang berarti saling kuat menguatkan; penyebutan itu dalam pengembangan berubah penyebutannya menjadi Mandar; (2) kata Mandar dalam penuturan orang Balanipa berarti sungai, dan (3) Mandar berasal dari Bahasa Arab; Nadara-Yanduru-Nadra yang dalam perkembangan kemudian terjadi perubahan artikulasi menjadi Mandar yang berarti tempat yang jarang penduduknya. Penulis makala ini, setelah mengajukan berbagai pertimbangan penetapan pilihan pada butir kedua, yaitu “mandar” yang berarti “sungai” dalam penuturan penduduk Balanipa. Tampaknya menyebutan itu tidak berpengaruh terhadap penamaan sungai sehingga sungai yang terdapat de daerah itu sendiri disebut Sungai Balangnipa. Selain itu masih terdapat sejumlah sungai lain di daerah Pitu Babana Binanga (PBB), yaitu sungai: Campalagiang, Karama, Lumu, Buding-Buding, dan Lariang.

Selain itu, dalam buku dari H. Saharuddin, dijumpai keterangan tentang asal kata Mandar yang berbeda. Menurut penulisnya, berdasarkan keterangan dari A. Saiful Sinrang, kata Mandar berasal dari kata mandar yang berarti “Cahaya”; sementara menurut Darwis Hamzah berasal dari kata mandag yang berarti “Kuat”; selain itu ada pula yang berpendapat bahwa penyebutan itu diambil berdasarkan nama Sungai Mandar yang bermuara di pusat bekas Kerajaan Balanipa (Saharuddin, 1985:3). Sungai itu kini lebih dikenal dengan nama Sungai Balangnipa. Namun demikian tampak penulisnya menyatakan dengan jelas bahwa hal itu hanya diperkirakan (digunakan kata mungkin). Hal ini tentu mengarahkan perhatian kita pada adanya penyebutan Teluk Mandar dimana bermuara Sungai Balangnipa, sehingga diperkirakan kemungkinan dahulunya dikenal dengan penyebutan Sungai Mandar.

Gambaran tentang nama Mandar ini cukup membingungkan, apabila direnungkan tanpa referensi. Karena itu dapat memberikan kecerahan menyangkut penamaan itu, saya ingin mengajak untuk berpaling pada latar kesejarahan. Saya berharap dengan mencoba menelusuri Keterangan-keterangan Kesejahteraan, kita dapat mengambil kesimpulan yang beralasan tentang penamaan itu.

Latar Kesejarahan

Dalam salah satu naskah lokal (lontara) di Mandar ditemukan keterangan yang menyatakan bahwa manusia pertama yang datang ke daerah ini mendarat di hulu Sungai Sadang. Sementara dalam tulisan dari Salahuddin Mahmud (1984) dinyatakan bahwa Tomakaka yang pertama menetap di Ulu’ Sadang. Keterangan itu memberikan petunjuk bahwa pemukiman di daerah ini telah berlangsung jauh sebelum terjadi penurunan permukaan laut (masa glasial). Selain itu juga dapat dipahami bahwa penghuni daerah ini adalah Kelompok Migran yang datang dari daerah lain, diperkirakan dari daerah Cina Selatan, yang kemudian menetap dan membangun persekutuan masyarakat. Juga dapat berarti bahwa penduduk daerah pesisiran maupun daerah pedalaman bercikal bakal pada keturunan yang sama, yang oleh berbagai alasan, pertambahan penduduk , bencana alam, wabah penyakit atau karena persoalan adat dan sistem kekuasaan, berpindah dan membangun pemukiman baru.

Dalam tradisi lokal masyarakat Sulawesi Selatan diperoleh keterangan yang cukup memikat tentang persebaran pemukiman. Kisah kerajaan mitis di Rura yang bersifat teokratis, terjadinya persebaran penduduk ke berbagai penjuru daerah itu disebabkan karena raja Rura, Londong di Rura yang bergelar Sappang ri Galete berkehendak melakukan perkawinan antara anak-anak sendiri, yang laki-laki di kawinkan dengan yang puteri (insest), suata rencana yang dilarang para dewata. Menurut tradisi jika terjadi insest maka pasti dewata yang mendatangkan mala petaka yang besar, sehingga sebulum upacara pernikahan dilakukan para keluarga kerajaan dan rakyat yang tidak menyetujuinya tidak berangkat meninggalkan negerinya (Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sulawesi Selatan, 1991). Tampak hal yang senada juga dijumpai dalam kisah Sawerigading yang berkeinginan untuk mempersunting saudara kembarnya, We Tenriabeng. Meskipun kisahnya mengarah pada pengembaraannya ke Cina untuk mempersunting sepupunya di Cina, We Cudai, namun karena ingin kembali ke Luwu, maka akhirnya ia ditarik ke paratiwi (ke bawa bumi) dan saudara kembarnya dimarairatkan ke dunia atas (boting langi). Tampaknya kisah-kisah ini mendasari aturan adat bagi penghukuman pelaku insest untuk didaerah dan ditenggelamkan ke air dalam, di danau atau di laut.

Akibat lain dari perbuatan insest adalah bencana dalam kehidupan masyarakat yang digambarkan bagaikan kehidupan yang kaos. Yang kuat memangsai yang lemah sehingga terjadi terus menerus perang tanding antar satu persekutuan dengan persekutuan lainnya. Dalam Masyarakat Sulawesi Selatan, kondisi itu diungkapkan dengan pernyataan bahwa kehidupan manusia sama seperti kehidupan ikan dilaut yang saling memangsai. Hal itu yang mendorong masyarakat senangtiasa bermohon kepada dewata kiranya dapat menemukan tokoh yang dapat menciptakan ketenteraman dan kedamaian. Hal itu terpenuhi dengan ditampilkan konsep Tumanurung, yang ditempatlkan menjadi tokoh pemersatu yang berhasil memulihkan kehidupan masyarakat, dan membangun tatanan pemerintahan yang terorganisir dalam bentuk monarkhi namun raja tidak memiliki kekuasaan mutlak karena dibentuk pula dewan hadat yang berfungsi legislatif dalam mengontrol kewenangan pemegang kendali politik.

Gambaran proses politik dengan konsep Tumanurung ini memiliki corak yang berbeda dengan pengkisahan sejarah dengan Mandar. Tumanurung lebih tampak sebagai tokoh pemula pemukiman yang kemudian tersebar ke berbagai daerah, yang pada prinsipnya untuk menunjukan bahwa penduduk Sulawesi Selatan, bahkan hingga Sulawesi tengah memiliki latar kesejarahan yang sama dan bersaudara. Dalam kisah Sejarah Sendawa, berdasarkan tradisi lisan, manusia pertama (Tumanurung) yang datang di Tanetena adalah tujuan orang Tumanurung yang kemudian masing-masing mengembara ke kaili, luwu, toraja, Bone, Cina, Sendana, dan yang satunya tidak diketahui ke mana perginya karena masing-masing memiliki semangat kepemimpinan. (Ahmad Sahur 1984). Kisah pengembaraan yang sama pula dalam ceritra rakyat di Enrekang, sehubungan dengan kerajaan Rura, dan kisah dalam satra I Galigo.

Sementara penyelesaian proses kehidupan masyarakat yang kaos itu terkisah dengan tampilnya I Manyambungi (Tamanyambungngi) yang dikenal juga dengan nama Todilaling. Ia adalah putera dari Tomakaka Napo, Pong ri Gadang. Ia mengembara dan diketahui pernah menjadi salah seorang pemimpin pemberani (Tobarani) Kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) pada periode Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada waktu menjadi pertentangan di negerinya, Ia dipanggil pulang untuk membantu penyelesaian persoalan yang terjadi. Keberhasilan menyelesaikan perselisihan yang terjadi itu, menyebabkan ia dipilih dan diangkat menjadi pemegang kendali kekuasaan atas persekutuan itu dibentuk dari: Napo. Mosso, Todang Todang, dan Samasundu. Pusat pemerintahan di Napo, satu wilayah yang sejak lama dikenal menjadi bandar niaga di daerah ini. Persekutuan ini menjadi dasar kerajaan Balanipa, sehingga dia dikenal sebagai raja Balanipa I. Proses pemilihan dan pengangkatannya ini di pandang sebagai dasar bagi pembentukan kesatuan pemerintahan yang dikategorikan dengan kerajaan.

Keberhasilan dalam memulihkan dan menentramkan masyarakat dengan konsep menyatukan kelompok-kelompok Tomakaka itu dilanjutkan pula oleh penerus pemegang kendali kekuasaan di kerajaan itu. Tomepayung, yang dinobatkan menggantikan I Manyambungi, tercatat berhasil mendamaikan dan menggabungkan lagi tiga Tomakaka, yaitu: Boroboro, Banato, dan Andau (baca: Ahmad Sahur, 1984: 89-93; Saharuddin, 1985: 35-40). Ia juga memprakarsai Muktamar Tammenjarra yang menghasilkan persekutuan pitu Babana Binanga (PBB). Pada dasarnya pembentukan wadah ini merupakan wadah persekutuan Kerajaan-Kerajaan (bondgenootshappijke landen) dengan menempatkan Kerajaan Balanipa sebagai pemimpin persekutuan itu dengan status sebagai “ayah” dan Kerajaan Sendana berstatus “ibu” dan Kerajaan lainnya sebagai anggota dengan status “anak”.

Dalam perkembangan kemudian, ia juga bergiat menjalin persekutuan dengan Kerajaan-Kerajaan kecil di daerah pedalaman yang telah membentuk persekutuan Pitu Ulunna Salu (PUS) yang terdiri dari kerajaan: Rantebulahan, Aralle, Mambi, Bambang, Matangnga, Messawa, dan Tabulahan. Permusyarawatan yang diselenggarakan di Luyo Tabasalah itu menghasilkan perjanjian Luyo (Allamungan Batu di Luyo). Isi pokok perjanjian itu adalah kesepakatan bersama untuk menjamin ketentraman kerajaan-kerajaan persekutuan. Itulah sebabnya pengaturannya adalah PUS mengemban kewajiban menangkal musuh yang datang dari arah pedalaman sementara PBB menangkal musuh yang datang dari arah laut. Persekutuan itu di ibaratkan bagaikan sebuah pupil mata yang terpadu warna hitam dan putih, paduan yang memungsikan mata. Menurut Darwis Hamzah, Perjanjian Luyo ini yang dikenal dengan istilah ‘Sipamandar’ yang berarti saling kuat menguatkan (Saharuddin, 1985: 41).

Latar Kesejarahan ini yang mendasari penyebutan dalam penataan pemerintahan di daerah ini setelah pihak pemerintah Hindia Balanda berhasil memaksakan kerajaan-kerajaan di Sulawesi Selatan menandatangani pernyataan pendek (Korte Verklaring)4 dengan menyebut wilayah PUS sebagai negeri-negeri pedalaman dari Balanipa (bovenlanden van Balanipa) dan Polewali dan Kerajaan Binuang sebagai negeri pesisir dari Balanipa (beneden landen van Balanipa)5 Dalam penamaan wilayah di daerah ini tampak pemerintah Hindia Balanda mengalami kesulitan untuk menyebut berdasarkan nama daerah mengingat pembentukan wilayah itu terdiri dari beberapa kerajaan yang menjadi satu federasi ataupun berbentuk konfederasi. Oleh karena itu pusat pemerintahan dijadikan patokan penamaan wilayah itu. Sebagai contoh, wilayah PUS yang berpusat di Mamasa (Wilayah Tabulahan) menjadi nama wilayah PUS; sementara Balanipa dan Binuang yang berpusat di Polewali disebut saja Polewali.

Pada periode pemerintahan Hindia Belanda ini, yang secara de yure dan de fakto setelah penandatanganan Pernyataan Pendek itu pada permulaan abad ke-20 itu, seluruh wilayah yang tergabung dalam PBB dan PUS disebut afdeeling Mandar, dengan pusat pemerintahan di Majene. Wilayah afdeeling ini terbagi dalam empat onderafdeeling, yaitu onderafdeeling: Majene, Mamuju, Polewali dan Mamasa. (Staatblad 1924 No. 476 dan Staatblad 1940 No. 21). Penamaan itu memberikan petunjuk bahwa nama Mandar telah mencakup wilayah pemukiman rakyat dari pesekutuan PBB dan PUS, dan telah menjadi konsep perwilayahan yang luas. Penamaan wilayah itu kemudian menampilkan nama itu sebagai mengejawantakan diri kelompok penduduk penghuni wilayah ini, sehingga umum dijadikan salah satu etnis di Sulawesi Selatan, untuk membedakannya dari kelompok Makassar dan Bugis.

Sesungguhnya, berdasar pada latar kesejarahaan, pembentukan kelompok Bugis dan Makassar adalah suatu gagasan dari Cornelis Speelman yang mengarah pada politik adu-domba. Karena itu dalam Perjanjian Bungaya (1667), Kelompok Bugis adalah Kerajaan-Kerajaan yang berpihak pada VOC dan Perang Makassar (1666-1667; 1668-1669), yaitu Bone, Soppeng, Luwu, dan Federasi Toratea (Binamu, Bangkala, dan Laikang). Sementara kerajaan-kerajaan yang berpihak kepada kerajaan Makassar dijadikan Kelompok Makassar, yaitu semua kerajaan yang tidak berpihak pada VOC, termasuk Kerajaan-Kerajaan di Mandar. Yang menjadi pemimpin kelompok Bugis adalah Kerajaan Bone, sementara yang menjadi pemimpin Kelompok Makassar adalah kerajaan Gowa. Namun dalam penataannya Kelompok Bugis mendapat peluang memperluas pengaruh kekuasaannya sehingga dalam pengembangan kemudian kerajaan-kerajaan yang dahulunya masuk dalam Kelompok Makassar beralih menjadi anggota Kelompok Bugis seperti Maros, Pangkajene, Tanatte, Malusse Tasi, Kelompok Ajataparang dan Mandar. Oleh karena itulah dalam pemberitaan pihak pemerintahan Belanda kemudian orang-orang Mandar (Madereezen) disebut juga orang Bugis (Bugineezen) (Encyclopedie Van. Nederlandsch-Indie, “Mandar”: 664).

Penataan administrasi pemerintahan kolonial itu mengalami perubahan ketika pemerintah Indonesia menata organisasi pemerintahan di Sulawesi. Berdasarkan peraturan Presiden RI Nomor 5 Tahun 1960 (Lembaran Negara 1960 Nomor 38). Wilayah Propinsi Sulawesi Selatan dan Tenggara terdiri dari 27 Daerah Tingkat II, dimana wilayah Mandar terbagi dalam tiga daerah Tingkat II (Kabupaten) yaitu Kabupaten: Majene, Mamuju dan Polewali-Mamasa. Pada perkembangan terakhir berdasarkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2002, pemerintahan memisahkan Mamasa dari Kabupaten polewali-Mamasa dan menjadikannya satu Kabupaten daerah Tingkat II yang Menjadi dengan nama Kabupaten daerah Tingkat II Mamasa. Penataan ini tampak kembali mengikuti penataan pada waktu pemerintahan Hindia Belanda maupun ketika Belanda tentang daerah ini yang saya tekuni, saya belum menemukan satu artikel yang menjelaskan tentang nama Mandar, kecuali penyebutan Makassar dan Sulawesi.

Interpretasi tentang pengadopsian kata mandar yang berarti sungai menjadi dasar penyebutan kewilayahan Mandar cukup beralasan Hal itu didasarkan pembentukan persekutuan menggunakan keterangan “Sungai” yaitu Pitu Babana Binanga (Tujuh Kerajaan Muara Sungai) dan Pitu Ulunna Salu (Tuju Kerajaan Hulu Sungai). Hal ini menunjukkan bahwa kerajaan-kerajaan di wilayah ini terbentuk di daerah aliran sungai, sehingga mendapat penyebutan Mandar yang berarti “Sungai”. Kenyataan menunjukan bahwa di daerah Mandar terdapat sejumlah besar sungai yang bermuara di Selat Makassar. Perkiraan ini juga di ungkapkan oleh Mocktar Husein dan H. Saharuddin, dan tentu hal itu terkait dengan kosa kata bahasa penduduk Balanipa yang menyebut sungai dengan kata mandar (mandi ke sungai = namauna di mandar). Sementara kosa kata lainnya adalah binanga dan salu yang memiliki arti “Sungai”.

Tinjauan Akhir

Gambaran periode kesejarahan daerah ini menunjukan bahwa penamaan Mandar telah mencakup wilayah yang meliputi dibagian utara Kerajaan Mamuju hingga ke Selatan Kerajaan Binuang dan bagian Timur Wilayah PUS. Dalam konsep kewilayahan sekarang meliputi Kabupaten daerah Tingkat II: Mamuju, Majene, Polewali Mamasa, dan Mamasa. Sesungguhnya penataan wilayah Kabupaten dalam kehidupan pemerintahan sekarang ini telah menggeser konsep kewilayahan Mandar, namun karena gagasan kewilayahan itu telah melahirkan pemahaman etnisitas bagi penduduk asli yang mendiami wilayah itu, maka konsep ini masih menghangat dan memiliki juga oleh penduduk Mamuju, Majene, dan Mamasa.

Mandar dengan berbagai interpretasi penamaannya dapat dipandang berpangkal dan berbasis pada Kerajaan Balanipa, yang Wilayahnya kini merupakan bagian dari wilayah Kabupaten Polewali-Mamasa, sekarang minius wilayah Mamasa. Dipandang dari Latar Kesejarahan, daerah Kabupaten ini mengemban peran pemersatu, pencipta keteraturan dan ketertiban di wilayah PBB dan PUS, bahkan telah berpengaruh bagi penetapan kelompok etnis. Dengan demikian beralasan apabila pemekaran wilayah kabupaten ini mendorong munulnya gagasan untuk menempatkan kembali Kabupaten Polewali-Mamasa menjadi Kabupaten dengan mengembang nama Mandar.

Namun demikian patut dipikirkan mengingat nama Mandar telah mengikat kesatuan kaum yang lebih luas, bukan hanya Penduduk Kabupaten Polewali Mamasa. Hal itu berarti penamaan Kabupaten Mandar untuk satu bagian dari wilayah etnis Mandar akan dapat melabilkan ikatan emosional Kelompok Mandar. Namun bila penamaan itu mendapat dukungan dari semua Kelompok kaum yang telah mengidentifikasi diri menjadi Mandar, sebagai wujud pengembangan Sipamandar, hal itu dapat menjadi katup pengaman, bagi tampilnya Kabupaten Mandar sebagai nama baru Kabupaten Polewali-Mamasa.

Hal lain yang dapat dipertimbangkan adalah mencari nama lain. Penamaan Polewali lebih berpatokan pada nama pusat pemerintahan untuk seluruh wilayah Kekuasaannya. Terdapat beberapa nama yang perna teremban dan cukup beralasan untuk dijadikan nama, seperti: napo, Balanipa, dan Binuang. Latar sejarah menunjukan adanya keungulan yang muncul dari kerajaan-kerajaan dahulu dalam membangun tatanan kehidupan masyarakat yang tertib dan tentram. Karena itu dapat diabadikan melalui akronim, untuk memperoleh penyebutan nama Kabupaten yang baru, sebagai dasar motivasi bagi pemerintah untuk melaksanakan pemerintah yang tertib dan tentram.

Perlu saya tambahkan bahwa Napo telah lama dikenal sebagai salah satu bandar niaga terpenting pada pesisir barat Sulawesi, disamping: Siang, Bacokiki, dan Suppa. Bandar Tallo dan kemudian Sombaopu baru dibangun oleh raja Gowa Ke-9, Tumaparissi Kalonna (1510-1546). Pada masa pemerintahannya Kerajaan Mandar (sesungguhnya Kerajaan Napo) mengalihkan kekuasaannya atas Gorontalo kepada kerajaan Makassar. Hal itu tercatat dalam Buku Harian Raja-Raja Gowa dan Tallo membentuk persekutuan dan melibatkan diri dalam dunia perdagangan maritim, kerajaan-kerajaan di Mandar telah mengembanhkan pengaruh kekuasaannya ke daerah lain, terutama kaili (Donggala) dan Gorontalo.